Tjokro dianggap tokoh berbahaya dan dicurigai akan berbuat makar, setiap perjalanannya ke Sukabumi diawasi ketat PID.
Halo gen XYZ Sukabumi, media kesayanganmu ini akan konsisten menyajikan tulisan kisah-kisah dan sejarah ihwal daerah kesayangan kita semua, Sukabumi, di masa silam.
Salah satunya adalah ketika Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (Tjokro), atau populer dengan sebutan HOS Tjokroaminoto, singa podium yang pernah beberapa kali mengunjungi Sukabumi pada masa pergerakan kemerdekaan.
Berikut fakta beliau selama di Sukabumi gaess:
1. Hindia Belanda khawatir dengan Tjokro dan perkembangan SI Sukabumi
Tjokro adalah pemimpin puncak Sarekat Islam (SI). Di Sukabumi, SI sudah berdiri pada 1913, yang pendiriannya tidak terlepas dari upaya Tjokro melebarkan sayap organisasi. Tak ayal, setiap Presiden SI Pusat tersebut datang ke Sukabumi untuk menggelorakan semangat perjuangan, selalu diawasi pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda terus mengawasi dan merintangi pergerakannya di daerah-daerah yang dikunjunginya Tjokro di Sukabumi, seperti Cicurug, Babakanpari, Kalapanunggal, Palasari Girang, hingga Jampang.
Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat perkembangan organisasi yang dipimpinnya tersebut terbilang cepat perkembangannya, Gaess. Dalam setahun saja, masyarakat Sukabumi yang menjadi anggota SI diperkirakan sudah 500 orang.
Tak ayal, seperti diberitakan Koran Sinpo (Juli 1915), setiap kali pengurus dan anggota SI Sukabumi yang dipimpin Haji Sirod menggelar rapat akbar di Selabatu, selalu dihadiri ratusan hingga ribuan massa. Jumlah yang terbilang besar pada massa itu.
Sehingga wajar jika kemudian pengawasan terhadap gerakan dan perkembangan SI, oleh pemerintah Hindia Belanda pun kian diperketat. Terlebih, tokoh-tokoh penting Sukabumi pada saat itu mulai banyak yang bergabung, salah satunya adalah KH Ahmad Sanusi, seorang ulama kharismatik yang didaulat menjadi penasihat (Adviseur) SI Sukabumi, Juli 1915.
2. Tjokro membela kasus yang melibatkan anggota SI Sukabumi
Pada 7 Juli 1927, terjadi pertemuan besar umat Islam di Cicurug yang dihadiri sekira 1.500 orang. Pada saat bersamaan, Ketua Divisi SI Jawa Barat Haji Mohammad Joesoef Samah ditangkap dan dituduh hendak melakukan makar terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Intelijen Hindia Belanda kala itu, mengendus sebuah pidato yang walaupun tidak secara eksplisit, dinilai sebagai upaya menjungkirbalikkan, serta menyerang hukum dan otoritas pemerintah. Selain itu, untuk memperberat tuduhannya, pemerintah Hindia Belanda membeberkan fakta pertemuan para pimpinan lokal SI pada 10 Juli 1927, sekira pukul 10.00 WIB, di Sekolah Sarekat Ra’jat, di Perkemahan Pintoehek, Sukabumi.
Di antara kalimat pidato Mohammad Joesoef dinilai berat seperti: “Kita misti sekoeat daja oepaja djangan takoet keloearken darah“, “Dari pada itoe kita orang djoega anggota PSI mesti ikut mentjari kemerdekaan itoe djika perloe dengen pati, agar soepaja Indonesia bisa lekas merdika “, dan “Maka wadjiblah anak Indonesia korbanken semua roepa kaloe perloe djoega djiwanja, djanganlah moendoer mana waktoenja, biar toempah dara atawa djiwa melajang. ”
Salah seorang saksi bernama Hadji Achmat Sapeih, dijebloskan ke penjara karena dianggap membohong. Saksi lainnya yaitu Wedana Tjitjotroeg dan asisten Wedana Parangkoeda, Nagrak, dan Benda malah memberatkan.
Tjokro pun akhirnya tampil membela Mohammad Joesoef di Pengadilan Sukabumi yang dipimpin Van Trass. Tjokro mengutip ayat-ayat AlQuran, sebagai salah satu upaya membuktikan bahwa tersangka tidak bersalah. Saking sengitnya perdebatan saat persidangan, media-media pada saat itu menjulukinya sebagai duel argumen Tjokro vs Van Trass.
Van Tras memutuskan menjatuhkan vonis dan menghukum Mohammad Joesoef 2,6 tahun penjara.
BACA JUGA:
Menyingkap kabut kelam masa silam Gunung Gede di Sukabumi sekaligus pusat kosmos urang Sunda
Tatkala Hatta dan Sjahrir memprediksi kehancuran Hindia Belanda dari Sukabumi
Menelisik asal usul tanah HGU di Sukabumi dari masa VOC hingga saat ini
3. Propaganda menentang sensus penduduk di Sukabumi
Tjokro dianggap tokoh yang berbahaya dan dicurigai akan berbuat makar, setiap perjalanannya ke Sukabumi diawasi dengan ketat oleh aparat dan intel (PID). Salah satu ajakan Tjokro yang dinilai kontroversial adalah menentang sensus penduduk, karena menurutnya, melalui sensus pemerintah akan mengawasi umat Islam dengan ketat sehingga tidak leluasa untuk melakukan pergerakan.
Dalam sebuah rapat akbar di Sukabumi, Tjokro menentang sensus penduduk tersebut dengan kalimat “Manah boleh“, dan menjelaskannya dalam bahasa Sunda “Etah perhitoengan djiwa aja maksoed-maksoedna pamarintah arek njaho sabraha djalma djalma selam (Islam) mengikoetkan igama nabi Moehamad seperti mustinja, Etah igama, aja pengatoeran hidji waeh, pengatoeran sepertih terseboetkan ti salinan Qur’an koering, Salinan ti Said Maulana”.
Artinya: Itu perhitungan jiwa ada maksud-maksudnya, pemerintah ingin tahu berapa (jumlah) pemeluk Islam yang mengikuti agama Nabi Muhammad SAW seperti yang seharusnya, itu agama, hanya ada satu pengaturan, yaitu pengaturan seperti yang tersebut dalam salinan AlQuran saya, salinan dari Said Maulana. [Penentangan ini dianggap sebagai akar upaya makar yang bertujuan menggulingkan pemerintah yang sah.]
Beberapa pengikutnya kemudian ditangkap seperti Siswo yang ditangkap pada 11 Agustus 1927 dan dibuang ke Digoel. Hal ini terkait pidatonya pada Juli 1927, dalam rapat yang dipimpin Tjokro di Cicurug. Siswo menyebut: “Kerna kita orang suda tida sach di printah oleh Wolanda” (Belanda tidak lagi memiliki hak untuk memerintahkan kita).
4. Dianggap melakukan agitasi massa melalui isu persatuan iman
Walaupun banyak aktivis SI yang ditangkap pemerintah Hindia Belanda, namun setiap kali melakukan kunjungan ke Sukabumi, Tjokro tetap konsisten menggaungkan pentingnya persatuan iman. Hal ini pula yang menjadikan ketakutan bagi penjajah Belanda, sehingga selalu berupaya untuk merintangi pergerakannya.
Beberapa kali Tjokro diberi peringatan, bahkan hingga harus berurusan dengan polisi. Dengan cerdas pula ia selalu berhasil menjelaskan bahwa upayanya hanya menyampaikan ayat-ayat dalam AlQuran.
Tjokro memang kerap mengutip ayat-ayat dan terjemahan AlQuran dalam setiap pidatonya. Tak mengherankan jika kemudian koran-koran Belanda yang pro pemerintah mulai menyerang Tjokro secara pribadi, seperti menyebutnya sebagi tokoh yang menjual ayat-ayat agama, dan tokoh politik yang sudah memudar.
Sampailah kemudian muncul desas-desus bahwa di Sukabumi, Tjokro akan melakukan agitasi di suatu tempat, atau isu bahwa Tjokro akan melakukan debat, sehingga aparatpun segera dikerahkan. Namun, informasi tersebut ternyata tidak lebih dari hoaks yang justru berbalik merepotkan pemerintah.
Polisi Hindia Belanda pun pada akhirnya dibuat sibuk sendiri, sehingga mereka terus berupaya mencegah kedatangan massa dalam jumlah besar, termasuk upaya menghasut masyarakat Sukabumi untuk menentang kedatangan Tjokro.
Akibatnya, beberapa warga yang berhasil dihasut, datang ke Alun-alun Cicurug untuk memprotes kedatangan Tjokro dan menuduhnya sebagai pembohong. Hal ini berkaitan dengan rumah warga yang disewa SI untuk kegiatan, yang konon rusak kolom dan lantainya akibat seringnya digelar pertemuan, sementara uang sewa tidak dibayar.
5. Ditolak di Parungkuda, dipersekusi di Cimalati
Pemerintah Hindia Belanda sudah sangat gerah dengan tingkah laku Tjokro di Sukabumi, sehingga dimunculkan intrik-intrik internal melalui anggota SI sendiri agar terjadi friksi dari dalam. Pada Minggu (28 September 1928), Haji Abdurahman ditemani orang kepercayaan Tjokro, mengundang pria berkumis tipis itu untuk menyelesaikan perselisihan antar-anggota SI di Sukabumi.
Hal ini dipicu munculnya artikel di Koran Kengpo yang meresahkan anggota SI, terkait pengumpulan uang yang dilakukan anggota SI. Artikel tersebut nampak menyudutkan Tjokro karena dituduh menggunakan uang tersebut untuk pergi ke Tanah Suci, Mekah.
Karib Tjokro, Haji Agus Salim, sempat memberi pembelaan dalam beberapa media karena sepengetahuan dia, perjalanan Tjokro ke Mekah didanai Balatentara Kandjeng Nabi Mohammad, sebuah kelompok yang didirikan untuk membela doktrin Nabi Muhammad SAW dari pelecehan. Wedana Cicurug pun sampai harus turun tangan meredam keresahan warga dan menjelaskan duduk perkaranya.
Tjokro juga sempat berkunjung ke Desa Cibodas, tidak jauh dari Parungkuda, untuk melakukan rapat akbar. Karena pada saat itu, Wedana Parungkuda sedang menghadiri acara pernikahan ke Bogor, hal ini memancing sekelompok orang dengan bebas datang ke rapat akbar dengan membawa golok. Tjokro akhirnya diselamatkan Lurah Cibodas dan berlindung di rumah Haji Toha, salah seorang tokoh SI Cicurug.
Tidak berhenti sampai disitu, upaya pemerintah Hindia Belanda membungkam mulut Tjokro, terus menerus dilakukan. Pada 12 September 1930, Tjokro mengunjungi pemimpin SI Cicurug Haji Abdulrachman, di Desa Sadamukti. Dari situ, Cabang SI mengirimkan undangan ke semua anggota di sekitar Cicurug dan Parungkuda untuk melakukan pertemuan di Pemandian Cimelati (Cimalati sekarang).
Saat pertemuan akan digelar, muncullah sekelompok orang sambil berteriak-teriak mengusir Tjokro disertai upaya menyerangnya secara fisik. Akhirnya iapun mengungsi ke rumah seorang kenalannya, sebelum akhirnya diberangkatkan ke Parungkuda. Kasus ini dipicu adanya provokasi mantan anggota SI yang fanatik, terkait kasus afdeling B bernama Idjo.
Idjo sendiri menjalani hukuman lima tahun akibat perbuatannya. Bahkan konon, dia sempat meminta bantuan Tjokro agar dibebaskan namun tidak berhasil. Ketika Idjo mengetahui bahwa Tjokro mengunjungi Cicurug, dia mengundang Tjokro agar bersedia melakukan pertemuan di rumahnya. Sayangnya, tiga kali undangan ditolak Tjokro mentah-mentah karena ia mengendus informasi ihwal sikap Idjo yang berbalik melawan SI.
Habis kesabaran, Idjo pun mengerahkan massa karena merasa sakit hati terhadap sikap Tjokro yang mengabaikan undangannya, dan berniat mengusir Tjokro dari Sukabumi. Meskipun tak ada bukti kongkrit, namun para tokoh SI menganggap bahwa perbuatan dia adalah settingan pemerintah Hindia Belanda untuk menghentikan perjuangan Tjokro.
Upaya merintangi semua gerakan Tjokro tidak pernah berakhir, hingga empat tahun setelah peristiwa itu, hingga Tjokro berhenti sendiri karena dipanggil Yang Maha Kuasa.
Ternyata kaus-kasus persekusi tidak hanya terjadi jaman sekarang ya, Gaess, zaman baheula juga kasus-kasus seperti itu sudah marak. Hal ini membuktikan bahwa perjuangan memerdekakan bangsa ini tidaklah mudah. Namun, wajib kita turut bangga bahwa Sukabumi menjadi bagian orang-orang yang aktif dalam upaya memerdekakan bangsa ini.