Salah satu catatan Gunung Padang dibuat Bujangga Manik dan kini tersimpan di Oxford University, Inggris.
Keberadaan situs megalitikum Gunung Padang yang berada di wilayah Cianjur telah lama mengguncang tak hanya Indonesia, tetapi juga dunia. Penguakkan misteri yang menyelimuti Gunung Padang dianggap oleh sebagian ilmuwan bisa memaksa penulisan ulang sejarah peradaban manusia. Wow!
Salah satunya atas dasar pertimbangan itu lah, pada Sabtu-Minggu (3-4 November 2018) Relawan Pelestari Cagar Budaya (RPCB), lembaga yang bernaung di bawah Yayasan Dapuran Kipahare Sukabumi, melakukan kegiatan Bimbingan Teknis Pelestari Cagar Budaya di Situs Gunung Padang.
Kegiatan tersebut diikuti sekitar 100 orang peserta dan dibantu oleh Direktorat Pelestari Cagar Budaya dan Permuseuman Pusat Jakarta. Para peserta mayoritas berasal dari berbagai komunitas di Sukabumi, yaitu Museum Kipahare, Jelajah Sejarah Sukabumi (JSS), Sosial Adventure, Kukis, Barbeque dan Sukabumi Facebook. Ada juga beberapa komunitas dari Majalengka, Ciamis dan Jakarta, selain juga komunitas lokal Gunung Padang.
Para pemateri dalam acara itu adalah Dr. Luthfi Yondri (peneliti Balai Arkeolog Bandung yang melakukan eskavasi di Gunung Padang tahun 2014), Dewi Kurnianingsih (dari PCBM Pusat), dan Henri Prasetyo (dari Balai Arkeolog Banten).
Berikut lima fakta Gunung Padang yang punya kedekatan dengan Sukabumi hasil rangkuman Yayasan Dapuran Kipahare.
1. Catatan mengenai Gunung Padang
Situs Gunung Padang merupakan situs peninggalan prasejarah yang berlokasi di perbatasan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, tepatnya di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas kompleks situs punden berundak terbesar di Asia Tenggara ini utamanya kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 hektare.
Karena belum sepenuhnya terkuak, Situs Gunung Padang menimbulkan berbagai dugaan yang berkembang di sebagian masyarakat. Misalnya, sempat dianggap sebagai peninggalan peradaban tertua di bumi yang lebih tua dari Piramida Giza di Mesir, juga dianggap sebagai sebuah piramida yang tertimbun. Ada pula yang menganggap bentuk batunya merupakan buatan manusia yang dipahat dengan teknologi termodern manusia pada masanya.
Lalu apa sebenarnya fakta ilmiahnya? Situs Gunung Padang adalah punden berundak yang batuannya terjadi secara alami yang disebut columnar joint. Batu-batu ini disusun oleh manusia pada masanya sedemikian rupa sehingga menjadi tempat ritual. Catatan kuno mengenai Gunung Padang memang masih diselimuti misteri.
Misalnya, dalam catatan Bujangga Manik, seorang traveller juga petapa pada masa Kerajaan Pajajaran yang melakukan ziarah ke tempat-yang tercatat dalam sebuah naskah yang disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627. Dalam tiga kali perjalanan dari Pakuan ke beberapa wilayah, perjalanan terakirnya menemukan tempat ideal untuk bertapa yang disebut Padang.
Namun melihat keterangan lokasinya, yaitu di hulu Sungai Cisokan di Gunung Patuha sepertinya bukan Gunung Padang Cianjur. Nama Gunung Padang sendiri ternyata ada di beberapa dan menjadi tempat peribadatan masa lalu, misalnya Gunung Padang Cikoneng (Kabupaten Ciamis) dan Gunung Padang di Cikatomas (Tasikmalaya).
Ada pula keterangan dari Babad Cirebon mengenai Perang Pajajaran dengan Cirebon yang berlangsung 15 kali dalam kurun 5 tahun (1526-1531) pasca dikuasainya Sunda Kalapa oleh pasukan Fatahillah. Peperangan berlangsung sporadis termasuk di Tanjung Ancol Kiyi (Ujung Genteng) dan Padang.
Nama Padang di sini juga belum jelas apakah Gunung Padang yang dimaksud. Namun dalam suatu Kisah pasca Pajajaran hancur, disebutkan mengenai Dewi Mendapa, yaitu adik dari Pucuk Umun (Istri Prabu Geusan Ulun). Konon disaat dewasa Dewi Mendapa ikut berperang dengan Banten dan melarikan diri ke gunung Padang, kemudian lari lagi ke arah selatan, yaitu Palabuhanratu dan bertemu dengan anak Prabu Suryakencana dan menikah. Mereka mempunyai anak bernama Dewi Mutiara Intan. Anak inilah yang kemudian pada saat dewasa melakukan gerilya terhadap Belanda yang berlangsung 25 tahun (sejak dia berusia 15 tahun) hingga tahun 1644. Kemudian, dia merubah namanya menjadi Tanduran Gagang.
Nama Cipadang tertulis jelas dalam laporan perjalanan Van Riebeeck yang pernah menjadi Gubernur Jendral VOC dala perjalanannya ke Gunung Guruh dan Pelabuhanratu. Tanggal 17 september 1709, sesudah beristirahat di rumah Wiaratanu di Cianjur, perjalanan dilanjutkan ke arah Gunung Guruh melalui Cilaku dan tiba di daerah negri Cipadang dekat Bangbayang. Cipadang ini dikepalai oleh Wangsa Prana dan termasuk wilayah administrasi Sayang Cianjur, mereka kemudian mengingap disitu.
BACA JUGA:
Gen Y Sukabumi, ini 5 info kyai pejuang asal Jampang Prawatasari
Gaess, ini 5 catatan ihwal Kerajaan Jampang Manggung Kabupaten Sukabumi
Gen Y Sukabumi mesti tahu nih, legenda 5 Embah di Jampang Surade
2. Akses Cireunghas menuju Gunung Padang
Perjalanan menuju Gunung Padang dari Ibu Kota Jakarta yang terdekat adalah melalui Sukabumi. Perjalanan menggunakan mobil akan melalui Kota Sukabumi kemudian Warungkondang, yaitu jalan antara Sukabumi-Cianjur. Kurang lebih satu kilometer sebelum Warungkondang belok kanan dan terus melanjutkan perjalanan sepanjang 20 km (ada plang petunjuk menuju situs).
Nah, untuk masyarakat Sukabumi, kalian bisa mencoba akses alternatif yang lebih dekat, yaitu melalui jalan Cireunghas. Akses ini sangat mudah dilalui dan memangkas waktu tempuh yang cukup banyak. Jalan sudah diaspal baik meski masih sempit, namun sudah aman untuk dilewati. Dari Cireunghas menuju Gunung Padang bisa ditempuh dam kurang dari 30 menit saja melalui Kampung Ciperedah.
3. Penduduk purba Gunung Padang diperkirakan menyebar ke Sukabumi
Hulu sungai Cimandiri ternyata berada tidak jauh dari Gunung Padang, hanya berjarak sekitar 2 km. Sungai ini cukup besar dan mengalir ke wilayah Sukabumi dan bermuara di Palabuhanratu. Dalam sejarah pemukiman biasanya pembukaan pemukiman tidak lepas dari masalah religius berupa tempat ibadah di pemukiman tersebut. Gunung padang yang merupakan situs yang cukup besar, diduga pada masanya memiliki penduduk yang juga banyak dibandingkan wilayah-wilayah lainnya.
Salah satu syarat keberadaan pemukiman tersebut adalah adanya sungai dan mata air sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat. Di Gunung Padang sendiri ada mata air Cikahuripan yang masih eksis hingga sekarang didekat pintu masuk Gunung Padang. Selain itu mata air juga berada disekitar Gunung Padang termasuk sungai diantaranya sungai Cipanggulaan, sungai Cikuta dan sungai Cimanggu.
Dari segi toponimi ada sebuah tempat yang disebut Pasir Kuta seolah berhubungan dengan konsep kuta atau “kota” di masa lalu. Selain situs tersebut terdapat situs-situs lainnya yang berkarakter batu kekar tiang (columnar joint) dalam area 5 kilometer dari Situs Gunung Padang.
Tanah sekitar gunung padang sangat labil karena dilalui sesar Cimandiri, hal ini menimbulkan dugaan bahwa masyarakat Gunung Padang di masa lampau menyebar untuk menghindari tempat longsor. Persebarannya diperkirakan mengikuti aliran sungai Cimandiri yang cukup besar dan membentuk beberapa kebudayaan di beberapa tempat yang dilaluinya di sekitar sungai Cimandiri.
Penelitian di Palabuhanratu yang menjadi muara sungai Cimandiri menemukan budaya megalitik punden berundak. Selain itu columnar joint juga ditemukan di dekat hotel Samudera Beach Palabuhanratu. Beberapa situs yang menyebar di Sukabumi juga berkaitan dengan budaya megalitik, misalnya Situs Tugu Gede Cengkuk, Salak datar, Citorek, Pangguyangan dan lain sebagainya.
BACA JUGA:
5 info arca Ganesha di Gunung Tangkil, warga Sukabumi mesti ngeh
Gaess, ada 5 bentuk batu di situs Batu Kujang Cicurug Sukabumi
5 catatan sejarah masa perjuangan dari Tour Sejarah ke Takokak, gen XYZ Sukabumi wajib tahu
4. Gunung Padang ditemukan sesudah jalur kereta api Sukabumi-Cianjur dibuka
Pasca UU Agraria tahun 1870, mulailah bermunculan perkebunan swasta di sekitar Gunung Padang seperti Perkebunan Cibokor, Perkebunan Gunung Rusa, Perkebunan Gunung Manik dan lain-lain. Beberapa orang Belanda bekerja dan tinggal di sekitar perkebunan, baik sebagai pemilik maupun pekerja.
Pada masa itu belum ada keterangan yang menyebutkan penemuan mengenai situs Gunung Padang. Kemudian dibangunlah jalur kereta api Cianjur yang menembus sebuah gunung melalui terowongan, yaitu Lampegan yang melewati Gunung Keneng, Desa Cibokor. Pembobokan gunung tersebut dilakukan atas kerja sama pengusaha teh Cibokor, yaitu Van Beckman dan Staatspoorwegen dengan mengerahkan para pekerja di perkebunan teh Cibokor.
Sebagai timbal balik, 200 meter ke arah timur dari mulut terowongan Lampegan didirikan Stasiun Lampegan yang memudahkan Van Beckman memuat hasil perkebunannya ke pelabuhan-pelabuhan. Pasca dibangunnya jalur kereta api Cianjur yang mulai beroperasi sejak 10 Mei 1883, atau satu tahun setelah beroperasinya rute Bogor – Sukabumi, mulailah berdatangan orang Eropa ke wilayah ini.
Sebagian dari mereka terdiri dari para peneliti yang menelusuri wilayah-wilayah sekitar lampegan dan menemukan tempat-tempat menarik. Salah satunya bernama Corte pada tahun 1890 yang disebutkan dalam laporan DR.R.D.M. Verbeek tahun 1891 berjudul Verhandelingen Van Het Bataviaasch der Kunsten en Wetenchapen disebutkan keberadaan Gunung Padang berupa undakan yang terdiri dari 4 teras yang dihubungkan dengan tangga batu yang kasar dengan dasar yang terbuat dari batu datar yang kasardan dihiasi oleh banyak batuan andesit berbentuk pilar/tugu yang berdiri tegak.
Verbeek menganggap situs tersebut adalah kuburan-kuburan yang ditutupi dan dilingkari dengan batu. Dugaan tersebut ternyata keliru karena situs tersebut bukanlah kuburan tapi punden berundak tempat beribadah masa lalu. Gunung Padang kemudian diteliti oleh NJ Krom tahun 1914.
5. Stasiun Lampegan yang bersejarah
Stasiun Lampegan yang menjadi stasiun terdekat menuju Gunung Padang dibangun pada masa kolonial, namun penggunaannya terus berlangsung hingga sekarang. Stasiun ini juga menjadi tempat strategis di masa perang kemerdekaan karena untuk mencapai Sukabumi dari arah timur harus melalui stasiun dan terowongannya.
Salah satunya adalah dalam Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947, pasukan Belanda memasuki Kota Sukabumi melalui terowongan Lampegan. Namun para pejuang sudah terlebih dahulu melakukan bumi hangus di sekitar wilayah yang dilalui, di antaranya adalah pembakaran pabrik teh Gunung Kencana (Lampegan).
Pembakaran ini dilakukan pada tempat-tempat yang dimungkinkan akan digunakan sebagai logistik Belanda seperti gudang-gudang dan pertokoan. Belanda juga mendapatkan penghadangan di Lampegan oleh pasukan pimpinan Letnan Dulhak. Sesudah masuknya Belanda ke Sukabumi, para pejuang masih meguasai wilayah sebelah tenggara dari garis Cibeber, Lampegan, jembatan Cireunghas pimpinan Kapten Baharudin.
Yuk, cintai sejarah lokal dan jadilah bagian untuk melestarikannya!