“Memang Si Jampang jadi jagoan, kumisnya panjang kayak pikulan, Kalaulah makan sering berjalan, celana pangsi tak ketinggalan”.
Gengs, kalau kita mendengar nama orang Jampang disebut, konotasinya lebih banyak ke hal-hal yang bersifat black magic seperti santet atau teluh Jampang. Meskipun begitu, semakin ke sini setereotif yang kurang menyenangkan tersebut kian terkikis. Walapun memang stigma negatif sebagai daerah “hitam” lebih berbekas di benak warga non-Jampang hingga saat ini.
Hal tersebut tentu saja berkat kegigihan warganya eksis di pelbagai bidang, kemudian sukses di ranah yang digelutinya. Sebenarnya nih, Gengs, kehebatan orang Jampang sudah dikenal sejak zaman dahulu. Namun, sayangnya masih banyak yang meyakini Jampang tempatnya orang-orang sakti, pendekar, dan penganut ilmu hitam.
Nah, dari mana sih sebenarnya asumsi itu muncul ya Gaess? Simak kuy lima catatan yang melatarbelakanginya.
1. Karakteristik Penduduk Jampang dalam catatan kolonial
Dalam catatan Bataviaasch Handelsblaad, Oktober 1880, orang Jampang adalah petani yang tidak banyak bersawah, tetapi budaya mereka berladang di huma atau sawah kering. Mereka menanam kacang, jagung, gandrung, singkong, ketela, hanjeli, pisang, dan kapas.
Orang Jampang juga terkenal karena kerbaunya yang banyak, rata-rata peduduknya saat itu memiliki dua hingga delapan kerbau per keluarga, bahkan ada yang memiliki 400 hingga 500 ekor kerbau. Kerbau-kerbau ini dibiarkan bebas tanpa kandang. Tetapi ada juga yang membayar penjaga untuk melindunginya.
Tak heran jika seseorang mengunjungi Jampang, maka di jalanan akan banyak mendapati hewan ternak itu berkeliaran. Siang hari mereka merumput, malam hari beristirahat di bawah cahaya rembulan. Mereka berkelompok untuk menghindari harimau dan anjing liar. Orang Jampang hanya menangkapnya jika diperlukan untuk membajak sawah atau dipotong.
Sebagian kerbau dikirim ke Buitenzorg (Bogor) untuk dijual, kerbau Jampang disuai pembeli karena ukurannya yang besar, kuat dan bertanduk panjang. Selain kerbau, orang Jampang juga memproduksi kapas, padi, kapol, kapulaga atau gadramon, kulit, dan tanduk kerbau dan rusa. Selain itu, akar bahar, ikan kering, telur penyu, dendeng, gula tebu, gula semut, gula hideung (aren), serta hasil hutan seperti ijuk, daun rebong dari palem, rotan, madu, lilin, karet, daun untuk cerutu, waru, dan lainnya.
Nah, Gengs, tidak heran jika kebituhan orang Jamang tehadap produk luar, relaif sedikit karena semua relatif tersedia di alam. Soal kebiasaan berbusana, laki-lakinya lazim mengenakan celana pendek dan perempuannya sarung pendek selutut dengan kebaya, dan terkadang mengenakan kerudung dengan cara dililitkan.
Pakaian-pakaian tesebut secara alami ditenun dari kapas yang diproduksi secara mandiri oleh warga Jampang.
BACA JUGA:
Memahami selara fesyen penduduk Sukabumi sejak masa Pajajaran dari motif batiknya
Menyingkap kabut kelam masa silam Gunung Gede di Sukabumi sekaligus pusat kosmos urang Sunda
2. Sulitnya Belanda mengeksploitasi jampang
Jampang merupakan tempat yang sulit dieksploitasi, selain karena lokasinya juga karena penduduknya relaif sedikit. Hal ini dimungkinkan akibat seringnya Belanda menumpas pemberotakan yang mengorbankan jiwa di wilayah ini.
Dalam catatan kolonial tahun 1880, populasi orang-orang Jampang memag sedikit. Luas wilayah sebuah desa tak jarang hanya dihuni paling banyak 50 penduduk yang saling berjauhan.
Tak mengherankan jika orang Jampang kemudian sering berjalan jauh atau menunggang kuda. Hal ini karena jalan dan jembatan tidak layak sehingga sulit dilintasi pedati. Jampang nyaris jarang dikunjungi orang Eropa kecuali asisten residen, isnpektur dan staf dari militer. Hanya kadang-kadang daerah ini mendapat kunjungan dari para naturalis, pemburu dan penumpang kapal pesiar.
Perkebunan-perkebunan baru didirikan orang Eropa mulai abad ke-19, itupun lebih banyak berlokasi di wilayah utara dan timur laut pesisir Jampang. Sementara di daerah selatan tidak ada perkebunan yang dibangun, karena penduduk Jampang juga relaif sulit diajak bekerjasama.
3. Tempat berburu favorit para pejabat
Jampang adalah tempat favorit berburu para pejabat zaman dulu, banyak binatang buruan di wilayah ini mulai dari rusa, badak, banteng, babi hutan, burung puyuh, merak, ayam liar, hingga macan kumbang dan harimau.
Bupati Cianjur Aria Wiratanudatar III yang saat itu menguasai Jampang, memiliki tempat berburu rusa di Panumbangan. Sementara para pekebun Belanda pun mempunyai tenpat berburu banteng di Cikepuh yang dikelola oleh kelompok Venatoria sejak 1899.
Banyak bangsawan-bangsawan Eropa yang sengaja datang ke Jampang untuk berburu.Pangeran Lichenstein, seorang raja dari Eropa datang pada 1877 dengan membawa serta seorang pemburu dan beberapa kuli dari Sukabumi. Mereka berburu badak di padang alang-alang tepi laut selatan. Selain itu, 16 April 1892, pangeran Austria Frans Ferdinand juga berburu di wilayah Jampang ditemani Bupati Cianjur.
Banyaknya binatang buas di wilayah Jampang, menjadikan rumah warga lazim dikelilingi pagar bambu dan dibuat pintu buka tutup pada siang dan malam hari. Bahkan, terkadang kampung ditinggalkan begitu saja untuk sementara waktu karena kerap didatangi sekelompok harimau yang mencari mangsa. Hal ini membuat pemerintah terpaksa harus memfasilitasi pembuatan jebakan macan di berbagai tempat.
Namun, akibat perburuan, banyak spesies binatang akhirnya terus menyusut. Badak menghilang, disusul kemudian banteng lenyap, dan mungkin juga harimau. Bakan, hingga tahun 1960an, banteng kerap diburu untuk dikonsumsi jika warga hendak mengadakan pesta. Banteng menjadi incaran karena gratis.
3. Tempat para pejuang dan pemberontak
Wilayah Jampang (disebut sebagai Jampan atau Djampang pada masa Kolonial) sejak dulu dikenal sebagai wilayah para jagoan dan tukang teluh (santet) bekumpul.
Asumsi ini relatif mudah dipahami karena sejak dahulu, Jampang bukanlah wilayah yang mudah dikuasai akibat wilayahnya yang terpencil dan tersembunyi di balik pegunungan. Konon Jampang adalah tempat penggemblengan pasukan Pajajaran yang kemudian menjadi basis para ulama dan penyebar Islam.
Tidak heran jika kemudian banyak jawara bernyali besar yang melakukan perlawanan teradap Hindia Belanda di wilayah tersebut, salah satunya adalah Syekh Yusuf Almakasari yang menjadikan jampang sebagai basis perjuangan pada 1683.
Kemudian ada Haji Prawatasari, seorang ulama pejuang yang dalam pengumuman Joan Van Hoorn disebut sebagai Paap (kepala agama semacam bapa/father/pope) Prawata. Ia melakukan pemberontakan yang lebih dahsyat dari Perang Diponegoro.
Cakupan gerilayanya mulai dari pinggiran Batavia, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, bahkan hingga ke Jawa Tengah sebelah barat dengan melibatkan 3.000 orang Jampang. Durasi perangnya pun cukup lama, mulai 1702 sampai 1707. Hinga tiga tahun kemudian perlawanan Pawatasari ditumpas Hindia Belanda.
Peangkapan ulama pejuang tersebut membuat loyalisnya di Jampang, melakukan perlawanan terhadap ketentuan-ketentuan Kompeni yang membebani kehidupan mereka pada 1710.
Perlawanan tersebut dipimpin seorang ulama dengan melibatkan sekitar 1.000 orang petani. Konon, mereka ditumpas dengan melibatkan pengkhianat yang menyebabkan mereka saling bertikai satu sama lain. Sang ulama kemudian dibawa ke Batavia dengan tubuh dirantai.
Tiga tahun kemudian, di tempat yang sama, kembali muncul aksi kolektif menentang para bupati pilihan Kompeni. Pemimpin aksi mengaku bernama Dermakusuma yang mendapat dukungan dua ulama bernama Tanuputra dan Wiradana. Dia berjanji akan membunuh bupati Cianjur, Ciblagung, Cikalong, dan Cileungsir.
Namun, sebelum kelompok Dermakusuma berbuat banyak, pasukan Kompeni berhasil mendesak dan mengusir kelompok itu keluar wilayah Sukabumi. Dermakusuma pun ditangkap dan dibuang ke Ceylon (Srilanka).
BACA JUGA:
Pernah dipersekusi di Sukabumi, HOS Tjokroaminoto fasih berbahasa Sunda
Wilayah Jampang Sukabumi, dasar lautan yang terangkat dan kisah hukuman bagi si kikir
5. Orang Jampang dikenal di Banten dan Betawi
Banyak kisah rakyat yang berkembang di Betawi dan Banten tentang orang Jampang, misalnya Batara Guru Jampang yang lama bertapa di Batu Singayaksa hingga konon burung pun bersarang di atas kepalanya. Tempat pertapaan Batara Guru ini kemudian menjadi ibukota Provinsi Banten saat ini.
Mitologi kekuasaan Kerajaan Banten sendiri dipengaruhi kisah pertapaan Batara Guru Jampang. Hasanudin, Raja Banten, kemudian memetafora kekuasaannya sebagai Batara Guru (gelaran Syiwa) Jampang yang bertahta melalui pertapaan dan pentasbihan di Watu Gigilang.
Sementara itu, di wilayah Batavia juga mucul cerita rakyat yang diyakini adalah kisah nyata yaitu si Pitung pendekar Betawi. Dalam Babad Caringin disebut bahwa Si Pitung adalah keturunan Jampang Surade, Kabupaten Sukabumi. Ia merupakan trah Raden Rakhmatullah Sunan Ngampel Denta. Trahnya ini melalui Ki Karmagada, kemudian turun ke Ki Karmajaya yang merantau ke daerah Jampang, tepatnya Surade. Anaknya, yaitu Ki Kartawirya menjadi tokoh di Surade yang pernah mengunjungi Lemahduhur, dan ahirnya menetap di Legokantrem.
Ki Kartawirya ini dikenal pula sebagai Haji Akbar, ia meminta Marunda menjadi guru silat, sementara Marunda menurunkan Murtani, lalu Murtani menurunkan Pitung, jagoan silat dari Rawa Belong. Selain Pitung, ada juga legenda Si Jampang Jago Betawi yang konon beribukan wanita asal Jampang.
Kisah Si Jampang ini kemudian diabadikan dalam gubahan keroncong bernama Stambul Jampang. Salah satu liriknya adalah, “Memang Si Jampang jadi jagoan, kumisnya panjang kayak pikulan, Kalaulah makan sering berjalan, celana pangsi tak ketinggalan”.
Nah Gengs, ternyata sejak zaman baheula orang-orang Jampang ini keren-keren ya, Gaess. Semoga bisa menginspirasi orang-orang Sukabumi terutama yang tinggal di wilayah Pajampangan.
Informasi dan pemaparan sejarah Jampang sangat krusial untuk di sampaikan ke publik, khususnya generasi Jampang yang telah menyebar ke berbagai tempat di setiap negara. . Peran serta leluhur Jampang di tahun 1800 dan 1900-an sangat kental mewarnai kehidupan sosial, ekonomi dan budaya di kota Jakarta /Betawi di masa nya. . . Sejarah Jampang akan terus berlanjut eksistensi nya mana kala generasi Jampang memahami peran sejarah Leluhurnya yang memberikan kontribusi positif pada kehidupan berbangsa dan bernegara dari masa ke masa.