Pada saat Upacara Penobatan Gelar Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi mengenakan sinjang dodot motif Banyak Ngantrang.
Selama ini mungkin kita mengenal batik sebagai budaya masyarakat Jawa saja, seperti batik Solo dan Yogyakarta. Padahal Sukabumi juga punya budaya batik sendiri lho, Gaess.
Batik Sukabumi ini sudah ada sejak masa Kerajaan Sunda Pajajaran dan berkembang di masa kolonial. Sayangnya, saat ini batik Sukabumi sudah jarang ditemui.
Tapi woles aja, Gengs, karena masih ada lho perajin batik khas Sukabumi yang masih eksis, atau setidaknya tetap konsisten memelihara dan membangkitkan kembali kenangan indah kemasyhuran batik Sukabumi masa lampau, namanya Batik Lokatmala.
Nah, biar nambah wawsan dan aware akan batik Sukabumi ini, simak kuy lima catatan berikut.
1. Batik dalam Budaya Sunda
Dikutip dari naskah Kandang Siksa Karesian yang ditulis pada 1518, masyarakat Sunda sudah mengenal corak (tulis) dan kain yang sekarang disebut batik. Terdapat istilah-istilah pertekstilan dalam naskah tersebut seperti Pangeuyeuk yang merupakan istilah zaman dulu untuk seorang ahli tekstil, sedangkan si pembuat sketsa gambarnya disebut Patekin.
Masyarakat Sunda juga selain membuat batik tulis, sudah mengenal batik tenun, alat yang digunakannya disebut keuntreung. Bahan dan alat-alat yang digunakan untuk membatik pada zaman dahulu adalah lilin yang berasal dari sarang lebah atau tawon. Sedangkan zat pewarnanya dari bahan-bahan yang berasal dari alam seperti biji-bijian dicampur dedaunan atau kulit pohon.
Bahan dan warna yang dihasilkan diantaranya merah dari buah galinggem, coklat dari tanah hitam, hijau dari pohon atau daun pandan, abu-abu dari tanah liat, biru muda dari tanah liat dicampur biji pohon wewedakan, kuning dihasilkan dari barbagai getah, sedangkan biru dihasilkan dari daun pohon tarum dicampur biji wewedakan.
Konon, pada masa Kerajaan Pajajaran, sudah banyak yang pandai membatik, diantaranya Rei Sutan Pamangku dan istrinya yang bernama Dasimah Arthi Pahrih, Ambhir barsama karibnya Silihandju dan anak perempuannya bernama Suranti Palihwarthi.
2. Motif Batik Sunda pada masa kerajaan Sunda, Pajajaran dan sesudahnya
Naskah Kandang Siksa Karesian juga menyebut dengan jelas jenis batik yang berkembang sebelum masa Prabu Siliwangi (Kerajaan Sunda), diantaranya Kembang Muncang, Gagang Senggang, Samele, Seumat Saruhun, Anyam Cayut, Sigeji, Pasi-pasi, Kalangkang Ayakan, Poleng Rengganis, Jayanti, Cecempaan, Paparanakan, Mangin Haris Sili Ganti, Boeh Siang, Bebernatan, Papakanan, Surat Awi, Parigi Nyesoh, Gaganjar, dan Lusian Besar.
Kemudian ada Kampuh Jayanti, Hujan Riris, Boeh Alus, Ragen Panganten, Hihinggulan Rama, Hihinggulan Resi (ada gambar Trisula), Hihinggulan Ratu Binokasih (ada ambar Mahkota), Hihinggulan Nanoman, dan Kembang Wijayakusuma. Sedangkan empat motif batik lainnya dibuat pada masa Prabu Siliwangi, yaitu Banyak Ngantrang, Banyak Wide, Julat Jalikem, dan Julat Jalintreng.
Gambar yang dominan pada batik Sunda zaman dulu adalah bunga-bunga atau tumbuhan, sebagian lagi motif bergambar binatang seperti kura-kura, monyet, burung, dan julang.
Dalam naskah Ratu Pakuan, dalam Babad Ambet Kasih, saat dilangsungkan pernikahan Prabu Siliwangi dengan Ratu Ambet Kasih menggunakan peralatan sinjang dodot bermotif ragen panganten, yaitu motif seperti yang disebut dalam naskah Siksa Kandang Karesian.
Pada saat Upacara Diwastu atau Upacara Penobatan Gelar Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi mengenakan sinjang dodot motif Banyak Ngantrang, motif yang populer dan berkembang pada masa itu.
BACA JUGA:
Keren Gengs, ini lho 5 karya lukis tidak biasa karya seniman Sukabumi
Gaess, ini 5 fakta Ibu Soed pencipta lagu Berkibarlah Benderaku orang Sukabumi
Satu jam menelusuri lorong gelap Sukabumi masa lampau di Museum Barbeque Kipahare
3. Batik yang berkembang di Sukabumi
Sebagai salah satu bagian dari Kerajaan Sunda, Pajajaran, tentunya di Sukabumi juga berkembang budaya batik kain maupun tenun. Sejak zaman dulu di Sukabumi sudah berkembang budaya wax resist menggunakan darih ketan. Bahkan, Sukabumi menjadi pusat kain di masa lalu, seperti kain tenun tradisional di Baros dan di Kadudampit.
Dalam catatan Marius Buys tahun 1891, sepanjang Pasar Cimahi (Cisaat) hingga ke Kadudampit dimana-mana terdengar bunyi klek-klek-klek dari alat tenun tradisional di sepanjang jalan. Produknya sederhana hanya bermotif jendela warna merah dan hijau. Ada yang dijadikan kain sarung maupun pakaian yang dipasok dan diperdagangkan di pasar-pasar yang terdapat di kota-kota sekitar.
Bahkan, konon para santri di Sukabumi sudah ada yang menjadi perajin batik pada masa kolonial. Dalam laporan KITLV, kain batik juga dipajang di Hotel Victoria Sukabumi sebagai ciri khas kota. Kemudian sekitar 1930 berdiri Pabrik Tekstil Tjiboenar milik Boen Hok Tjiong yang mempekerjakan lebih dari 1.000 orang, dimana pabrik ini diwajibkan memasok pakaian tentara Jepang.
Ironisnya, masyarakat Sukabumi sendiri justru lebih mengenal baju karet bernama caping yang digambari batik, akibat sulitnya kain pada masa tersebut. Dalam penuturan saksi mata dalam buku Nasionalitas Postkolonial disebutkan, cara pembuatan baju tersebut sebagai berikut: “Bahanna guetah karet, didamel sapertos tahu, dicampur cuka, teras digodog, dikocek, teras jiga kulit dipoekeun, saatos garing dituliskeun jadi batik“.
Duh, parahnya lagi, Gaess, konon penjajah Jepang sengaja membiarkan masyarakat Sukabumi menggunakan baju karet tersebut karena jika ada yang lari maka gesekan baju ini akan berbunyi kencang sehingga mudah ditangkap.
4. Upaya mengangkat Batik Sukabumi
Keterkenalan Sukabumi sebagai pusat tekstil dan batik sejak zaman baheula, dimana Sukabumi pernah menjadi pusat asosiasi kain tenun saat era penajajahan Jepang, dengan Boen Hok Tjiong sebagai ketuanya, rasanya tidak mengherankan jika banyak seniman dan pengusaha batik yang berusaha menggairahkan kembali seni membatik Sukabumi ini. Dari sekadar menyalurkan hobi, hingga yang serius untuk menghasilkan manmbah pundi-pundi.
Salah satu sosok yang mencoba mengangkat kembali batik Sukabumi adalah Fonna Melania. Wanita kelahiran 21 Mei 1975 ini, pada awalnya tertarik dengan batik sejak 2009. Upaya wanita yang karib disapa Ceu Popo itu berawal dari keprihatinan karena ketiadaan batik khas Sukabumi yang dikenal generasi saat ini. Fonna ingin mengangkat kembali kekhasan dan selera fesyen warga Sukabumi dalam batik karyanya.
Upaya Fonna dimulai dengan melakukan riset mengenai sejarah dan filosofi batik. “Saya memulainya dengan belajar menari dan mendirikan Komunitas Tari Lokatmala, kemudian membuat Komunitas Karinding dan Iket Sunda.”
Untuk melengkapi referensinya ihwal seni dan perbatikan, Fonna juga bergabung dengan Sukabumi Facebook, Soekaboemi Heritages, dan Yayasan Dapuran Kipahare. “Dari berbagai referensi tersebut kemudian saya memformulasikannya dengan membuat ragam batik, dan memberinya nama Batik Lokatmala,” jelas Ceu Popo di workshop-nya, Jalan Kenari No 20, Kelurahan Selabatu, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi.
5. Batik Sukabumi Ngajomantara
Fonna tidak hanya memproduksi dan menjual kain batik, tetapi juga menawarkan kekhususan Batik Lokatmala Sukabumi, dimana rumah produksinya mengangkat motif-motif khas seperti Masagi, Leungli, Candramawat, Elang Jawa, Pala, Gunung Parang, Wijaya Kusumah, Manuk Julang, Leuit Si Jimat dan lain sebagainya, dengan nilai filosofisnya masing-masing.
Adapun bahan yang dipergunakan adalah pewarna alam seperti gambir, jalawe, tinggi, tegeran, secang, alpukat, dan mahoni.
“Saya ingin mengangkatnya dari dasar yaitu bahan-bahan alami yang menjadi ciri budaya Sunda. Kesempatan pertama memperkenalkan motif-motif batik tersebut pada Hari Ulang Tahun Kota Sukabumi ke 100. Sejak itulah kemudian mulai sering mengikuti berbagai pameran, bahkan sempat diundang ke Pakistan untuk meperkenalkan dan mengajarkan batik Sukabumi kepada pengunjung event di sana,” paparnya.
Upaya ini diharapkan Fonna bisa menginspirasi masyarakat sukabumi untuk terus mengangkat potensi kesukabumian dengan motto MASAGI: Maju Sadar Giat.
Nah, Gengs, kalau mau dicari persamaannya, ternyata terdapat kesamaan selera fesyen penduduk Sukabumi sejak masih dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran sampai saat ini. Gambar batik Sunda pada zaman dulu yang dominan bergambar bunga-bungaan, tumbuhan, dan binatang seperti burung julang. Begitupun dengan motif yang dikembangkan Ceu Popo, motif binatang terbang tetap lestari, seperti Elang Jawa dan Manuk Julang.
Mungkin pesan yang ingin disampaikan adalah sifat masyarakat Sunda pada umumnya ya, Gaess, yaitu jiwa-jiwa yang bebas, netralitas, suka memerhatikan apapun yang menarik hatinya. Semoga budaya dan seni Sunda hasil karya gen XYZ Sukabumi juga bisa terbang melanglang buana dan kembali masyhur.