Cinta, kesetiaan, dan ketulusan seorang wanita pejuang Sukabumi.
Halo, sobat Sukabumi XYZ, setelah menurunkan tiga tulisan bersambung Wanita Sukabumi (Part 1 – 3). Pada tulisan part 1, bercerita ihwal keteguhan hati dan kesetiaan Dari Nyi Pudak Arum hingga feodalisme yang mereduksi marwah wanita. Kemudian tentang ketangguhan dan kesabaran pada part 2, Dari objek seksisme hingga kisah hebat yang disembunyikan.
Sedangkan pada tulisan part 3, bercerita tentang keberanian dan kisah heroik kaum Hawa Sukabumi pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, Pejuang tomboy yang hilang hingga the power of emak-emak masa penjajahan.
Pada tulisan Wanita Sukabumi (Part 4) ini, sukabumiXYZ.com mengisahkan tentang cinta, kesetiaan, dan ketulusan seorang wanita pejuang Sukabumi yang rela tidak menikah hingga akhir hayatnya demi cinta sejatinya yang juga sesama pejuang dari Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Simak kuy bagaimana lima catatan ihwal kisah kasih cinta sejati sepasang pejuang Sukabumi pada masa perjuangan merebut kemerdekaan.
1. Enden putri seorang mantri guru
Enden adalah seorang gadis pejuang Sukabumi yang lahir pada 1917, dari seorang ayah yang berprofesi sebagai mantri guru. Ayahnya merupakan salah seorang juragan Cibadak ketika itu, seorang pemiliki tanah dari mulai Bojong Talang sampai Pasar Cibadak.
Status sosial ayahnya tersebut menjadikan Enden bisa mengenyam pendidikan formal lebih baik dibanding teman-teman sebayanya. Ia sempat bersekolah di Hoogere Burgerschool te Bandoeng bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX tahun 1925. Hoogere Burgerschool te Bandoeng atau Bandoengsche Hoogere Burgerschool dalam ejaan lebih baru Hogere Burgerschool te Bandoeng disingkat HBS te Bandoeng atau HBS Bandung adalah sebuah lembaga pendidikan menengah umum.
Saat sakolah di HBS itulah konon Enden dan Hamengkubuwono IX sempat begitu dekat, walaupun hubungannya tidak berlanjut.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 berkumandang, Enden kemudian memutuskan bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API).
2. Menjalin kasih dengan Lettu Bakrie
Dikisahkan kemudian, Enden menjalin tali kasih dengan seorang tentara pejuang sekaligus tetangganya di Cibadak, bernama Lettu Bakrie. Nama Lettu Bakrie sendiri diabadikan menjadi nama jalan di daerah Jl. Lettu Bakrie No.29-41, Nyomplong, Warudoyong, Kota Sukabumi.
Pada masa perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, Enden turut berjuang bersama pejuang Sukabumi lainnya. Berbekal amunisi botol-botol bom molotov, pada Oktober 1945, dia bersama pejuang lainnya ikut melemparkan molotov kepada pasukan Belanda dari atas perbukitan di sekitar wilayah Parungkuda.
Belanda-pun melakukan aksi balasan dengan membombardir Cibadak dengan pesawat RAF Inggris. Namun, dari peristiwa itu, ia berhasil merampas sepucuk pistol dari seorang tentara Inggris yang tewas. Enden dan pejuang lainnya kemudian memilih mundur ke daerah Nagrak.
BACA JUGA:
Catatan dari Paris: Menyingkap alasan pria Eropa jatuh cinta kepada penari Sari Oneng Sukabumi
Petaka cinta segi tiga di Kalapanunggal Sukabumi menjadi headlines media Eropa
Cinta, karya dan politik, 5 fakta Selabintana mewarnai Sukabumi di kancah internasional
3. Sang ayah dipenjara
Tahun 1946 Enden bergabung dengan Laskar Wanita Indonesia (LASWI), sebuah badan pergerakan dan perjuangan kaum perempuan yang berkontribusi dalam era menegakkan Republik Indonesia. Laswi merupakan organ afiliasi Musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) yang sebelumnya bernama Markas Dewan Pimpinan Perjuangan (MDPP), yang mengkoordinir 61 kesatuan perjuangan di seluruh Jawa Barat.
Laswi dibentuk pada 12 Oktober 1945 oleh Sumarsih Subiyati biasa dipanggil Yati Aruji, istri Arudji Kartawinata, komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat yang kelak menjadi Divisi Siliwangi. Anggota Laswi beragam, dari gadis, ibu rumah tangga, hingga janda, umumnya berusia di atas 18 tahun.
Selain di LASWI, Enden juga aktif di Biro Perjuangan Daerah (BPD) dan menjabat sebagai Kepala Bagian Wanita.
Ketika Belanda melakukan agresi pada Juli 1947, ayahnya ditangkap Belanda dan dipenjara di van Delden atau Sekolah Polisi Sukabumi. Sedangkan rumah orangtuanya di Nagrak kemudian diduduki Belanda dan dijadikan markas tentara.
Kedua peristiwa tersebut menyulut kemarahan Enden, hingga beberapa kali ia melakukan penyerangan ke markas tentara tersebut. Ia juga sempat berusaha membebaskan sang ayah dari penjara, namun gagal.
4. Kekasihnya tewas
Ketika Perjanjian Renville dilangsungkan antara Indonesia dengan Belanda, semua pasukan diminta hijrah ke Yogyakarta. Lettu Bakrie termasuk yang ikut hijrah bersama pasukan Siliwangi, sementara Enden memilih menunggu dan bergabung dengan Brigade B Divisi Bambu Runcing.
Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.
Ketika Lettu Bakrie terus berjuang bersama pejuang di Yogyakarta, di Nagrak dan Cibadak Enden terus bergerilya melawan pasukan Belanda di bawah pimpinan Muhidin Nasution dan B Sukindar.
Kemudian masih pada tahun 1948, Enden mendengar kabar memilukan ihwal tewasnya sang kekasih, Lettu Bakrie. Namun, hal itu justru menjadikan semangat perjuangan gadis ini seperti tersengat. Ia memutuskan untuk terus berjuang sampai tetes darah penghabisan, hingga kemudian memutuskan bergabung dengan Brigade Citarum.
Namun, ketika pasukan Siliwangi kembali ke Sukabumi, Brigade Citarum memilih jalan berbeda sehingga terlibat konflik sesama pejuang. Pada saat pengakuan kedaulatan Indonesia, Enden mundur dari Brigade Citarum dan memilih kembali menjadi rakyat biasa.
BACA JUGA:
Cinta terlarang wanita Ciemas Sukabumi berujung maut, ini 5 kronologi pengungkapan kasusnya
Gegara cinta siswi SMA Cibadak minta disuntik mati, 5 info ortu Sukabumi wajib tahu
Membuka lembaran sejarah kejayaan Cibadak dari Puncak Panenjoan (part 1)
5. Enden tak pernah menyandang status veteran
Pada 1959, Enden sempat mengajukan status veteran kepada pemerintah, namun karena masih hangatnya konflik dengan Brigade Citarum, permohonannya tersebut ditangguhkan. Sampai meninggalnya pada 1987, Enden tidak pernah mendapatkan status veteran yang diharapkannya, apalagi penghargaan atas jasanya.
Satu hal yang tidak perlu diragukan dari sosok wanita pejuang ini adalah kesetiaan akan cinta sejatinya. Hingga akhir hayatnya, Enden memilih hidup melajang demi menjaga cintanya agar tidak jatuh kepada pria selain almarhum Lettu Bakrie.
Betapa luar biasanya peran wanita Sukabumi ini ya Gaess, berkat merekalah kita bisa menghirup kebebasan berbangsa seperti saat ini. Hal ini yang melatarbelakangi apreasiasi dari Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat yang datang sendiri ke Sukabumi pada April 1950 untuk berterimakasih kepada warga Sukabumi termasuk kepada para pejuang wanitanya. Mereka adalah para edelwys dengan semangat juang abadi dan patut dikenang oleh bangsa terutama masyarakat Sukabumi.
Tak berlebihan jika Bung Karno menyatakan bahwa “Tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner”, sebuah kutipan atas pernyataan Dolores Ibarouri dalam La Passionaria.