*The previous chapter: #FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 17): Menghajar preman receh
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————
Grace membunyikan klaksonnya dengan kencang. Namun sosok itu tidak bergeming. Tangannya memberikan kode agar Grace memarkirkan mobilnya, dan keluar dari mobil.
“Sial!” gerutu Grace. Terpaksa ia memarkirkan mobilnya ke samping agar pengemudi yang membunyikan klakson di belakangnya dapat lewat. Grace keluar dari dalam mobil.
“Ada apa dengan wajahmu, Dokter Grace?” ucap sosok itu. Brenda Birsch, adik dari Arlos Birsch, berdiri dengan anggun di depan mobil Alphard hitam miliknya.
“Oh, aku tak sengaja terjatuh di kamar mandi tadi pagi,” ucap Grace datar. Brenda tersenyum sinis.
“Jatuh? Lebam itu terlihat seperti dipukul.” Ada nada dingin dalam suara itu. Grace mendesah.
“Apa maumu?” Grace membuka sarung tangan hitam yang dipakainya, lalu memasukkannya ke dalam kantong.
“Nyawamu,” jawab Brenda singkat. Grace tersenyum seraya mendengus kesal.
“Kenapa kau menginginkan nyawaku?” kata Grace menatap tajam Brenda yang masih berdiri dengan pose anggunnya yang menyebalkan.
“Karena kau sudah membunuh Arlos!” Brenda berjalan mendekati Grace yang mengerutkan keningnya.
“Aku? Membunuh Arlos? Apa kau punya bukti? Jangan asal bicara kau!” Grace terlihat kesal.
“Siapa lagi yang bisa membunuh Arlos selain kau!” Brenda mendorong tubuh Grace hingga terhuyung. Grace mencoba menahan amarahnya.
“Hei nona! Kenapa kau menuduhku tanpa bukti? Aku memang mengenal kalian, tapi aku tidak pernah dekat dengan kalian! Kau sendiri tahu itu! Kapan kau melihat aku bersama kakakmu itu? Aku rasa TIDAK PERNAH!” Mata mereka bertemu sesaat. Brenda memalingkan wajahnya.
“Di kota ini, hanya kau yang bisa melakukan itu. Kematiannya tidak wajar, dia tidak memiliki riwayat penyakit berat. Ia orang yang sehat,” kata Brenda pelan. Matanya mulai berair, ia mulai menangis. Grace mendesah, ia menghampiri Brenda dan merangkulnya.
“Aku sudah memeriksa penyebab kematiannya dan meminta dokter forensik untuk mengecek sesuatu. Akan aku pastikan pembunuhnya tertangkap. Aku yakin Richard akan mampu menangkapnya. Atau setidaknya, mendapatkan informasi tentang siapa pelakunya.”
Memar di pipi Grace terasa semakin berdenyut sakit. Ia sedikit meringis. Brenda memeluk Grace erat.
“Maaf sudah menuduhmu,” ucap Brenda lirih.
“Tidak apa-apa. Maaf, tapi aku harus pergi sekarang, akan kuhubungi kau nanti.” Grace melepaskan pelukan Brenda dan masuk ke dalam mobilnya.
“Aku tunggu informasinya. Aku akan berada di rumah jika kau mencariku,” kata Brenda sambil melambaikan tangannya. Grace menyalakan mobil lalu pergi dari tempat itu menuju rumah utama. Namun sesuatu mengusiknya, tanda peringatan pada mobilnya berbunyi saat ia masuk.
“Aktifkan pemindaian.” Grace memberikan perintah pada komputer di dalam mobilnya. Dan ternyata, ada sesuatu yang menempel pada jaketnya. Grace mendengus pelan.
“Brengsek! Beraninya dia menempelkan alat pelacak padaku!” Gerutu Grace dalam hati. “Baiklah, mari kita bermain-main Birsch!”
Grace menghentikan laju mobilnya, membuka jaket, lalu melepaskan alat pelacak yang menempel di sana. Ia melihat sekelilingnya, dan ia menemukan sesuatu yang menarik. Grace keluar dari dalam mobil, dan menghampiri seekor kucing yang tengah bersantai di atas pagar sebuah rumah. Dengan cepat ia menempelkan alat pelacak itu pada liontin kalung kucing itu, lalu berbalik pergi.
“Selamat bersenang-senang, Brenda.” Grace terkekeh. Namun rasa sakit di pipi kirinya membuat ia kembali meringis kesakitan. “Aaargh! Aku butuh es!” Teriaknya.
BACA JUGA:
Alice mondar-mandir di dalam kamarnya. Terdengar suara ketukan pelan di pintu.
“Masuk!” teriaknya. Brian dan Kevin masuk, mereka tampak cemas.
“Apa ada kabar dari Grace?” tanya Brian pada Alice.
“Belum. Aku yakin dia belum memberikan kabar apapun juga pada Baboon.” Alice menghempaskan tubuhnya pada sofa yang terletak di dekat ranjangnya.
“Nona akan segera pulang. Ia sedang dalam perjalanan,” suara Prilly mengejutkan ketiganya.
“Kau…” Alice mendengus.
“Maaf, saya tidak sengaja mendengar apa yang kalian bicarakan. Jadi langsung saya jawab. Dan lagi, saya ingin memberitahukan, makan malam sudah siap. Silakan menuju ruang makan,” ucap Prilly sopan.
“Baiklah, terima kasih,” ucap Kevin seraya mengangguk. Prilly pergi meninggalkan mereka yang terlihat sedikit lega.
“Sepertinya Grace bisa menangani para Harem itu.” Brian ikut menghempaskan tubuhnya di sofa.
“Ya, itu bagus. Tadinya aku kira dia akan kesulitan.” Kevin tersenyum kecil. Alice menyipitkan matanya seraya tersenyum jahil.
“Jadi, sepertinya ada yang sedang mengkhawatirkan seseorang ya?” Alice terkekeh.
“Siapa?” tanya Brian sambil menatap Alice yang memberikan kode dengan menunjuk ke arah Kevin dengan alisnya.
“Ah… Begitu…” Brian mengangguk dengan ekspresi lucu.
“Hei! Apa maksudnya? Sudahlah, kita makan dulu. Aku lapar!” Kevin berbalik ke arah pintu keluar. Alice dan Brian terus menggodanya hingga mereka sampai di ruang makan. Baboon dan Einstein sudah berada di sana. Dengan wajah penasaran, Baboon bertanya, “Ada apa? Sepertinya kalian sedang senang.” Baboon menatap ketiga muridnya itu dengan alis berkerut.
“Tidak ada apa-apa,” ucap Kevin cepat.
“Iya, tidak ada apa-apa. Hanya saja, ada yang terlalu cemas dengan Grace,” kata Alice terkekeh. Brian terbahak, Einstein menatap Kevin dengan curiga.
“Kau jatuh cinta dengan Grace?” tanya Einstein polos. Wajah Kevin memerah. Baboon, Alice dan Brian tertawa bersamaan.
“Haish! Kalian kenapa? Aku tidak sedang jatuh cinta!” Kevin kesal.
“Siapa yang sedang jatuh cinta?” Sebuah suara membuat mereka meredakan tawanya. Grace berdiri di ambang pintu ruang makan seraya meringis kesakitan.
“Eh, itu…” Alice mencoba mengatakan sesuatu. Namun melihat Kevin menghampiri Grace dengan cemas, ia mengurungkannya.
“Kau tidak apa-apa?” Kevin menyingkirkan tangan yang menutup pipi kiri Grace.
“Tenanglah, ini hanya memar, tadi aku kena pukul.” Grace kembali meringis. Baboon segera bangkit dari kursinya dan menghampiri Grace.
“Biar kulihat!” Baboon memeriksa lebam yang ada di wajah Grace. “Apa pandanganmu kabur?” tanya Baboon serius.
“Tidak,” jawab Grace singkat.
“Pusing? Mual?” Baboon memeriksa mata Grace.
“Tidak. Hanya sakit di pipiku saja… Aaahhh! Rasanya rahangku mau copot!” Grace menggerutu.
“Kau beruntung, aku yakin kau dipukul dengan keras dengan kayu atau besi. Jika sedikit saja mengenai syaraf mata. Kau bisa buta!” Baboon menarik Grace untuk duduk di kursi. Prilly datang dengan sebuah kompresan berisi es batu. Grace mengambil kompresan itu dan menempelkannya pada lebam yang membiru itu.
“Sudahlah, aku lapar. Sebaiknya kita makan dulu,” ucap Grace seraya memberikan kode pada Prilly agar segera menghidangkan makanan. Baboon, duduk di samping Grace, begitu juga dengan Kevin. Mereka terlihat sama-sama cemas. Brian, Alice dan Einstein menahan tawa.
“Sebenarnya kalian kenapa?” Grace bertanya penasaran. Kevin melotot pada Alice dan Brian.
“Tidak, mereka mungkin menertawakanmu yang bisa dihajar hingga seperti ini,” Kevin berkata kesal. Grace menatap Alice dan Brian, matanya menyipit. Mereka berdua lamhsung menundukkan kepalanya.
Hidangan datang, dan disajikan di atas meja. Belum sempat Grace mencicip makanannya, ponselnya berbunyi. Grace mengambil ponsel itu dari sakunya dan melihat nomor pada layar. Semua mata tertuju padanya.
“Halo?” Grace berusaha mendengarkan suara yang ada di seberang sana.
“Halo, Grace,” jawab seseorang di seberang sana dengan suara riang.
“Siapa kau?” Grace bertanya dengan nada datar.
“Aku? Bukankah kau memaksa ingin berbicara denganku, dan mencari informasi tentang A, si Anonymous yang terkenal itu?” Terdengar suara tawa yang membuat Grace jengkel, dan berkata:
“Profesor Sukichi.”
*To the Next Chapter