Menjadi headline Daily Mail, NY Times, BBC, HuffingtonPost, hingga media Prancis Lefigaro.
TJIPETIR mulai dikenal dunia ketika sebuah kepingan lateks banyak ditemukan mengambang di pesisir pantai Eropa utara mulai dari inggris, Prancis, Belgia, hingga Denmark.
Tak ayal, Gaess, penemuan kepingan karet ini menyedot perhatian publik dunia. Selama sekira satu abad, tablet karet yang bertuliskan TJIPETIR menjadi misteri.
Banyak pihak yang memperkirakan lempeng tersebut merupakan manifest Titanic yang tenggelam di Samudra Atlantik Utara pada tanggal 14 April 1912.
Belakangan diketahui jika lempengan tersebut berasal dari kapal Jepang Miyazaki Maru yang diserang kapal Jerman U-Boat 88 yang dinakhodai Walther Schwieger pada 31 Mei 1917, di 241,5 km arah barat Kepulauan Scilly, antara Inggris dan Prancis pada perang dunia kedua. Saat diserang, kapal berbobot 8.520 ton itu dalam perjalanan dari Yokohama menuju London.
Berikut lima faktanya, Gaess.
1. Pencarian Tracey Williams
Pada 2012, Tracey Williams yang menemukan kepingan TJIPETIR di pantai Newquay, Cornwall, Inggris, mulai mencari asal muasal lempengan tersebut. Hasil pencariannya kemudian berakhir pada pabrik getah percha PTPN VIII yang berada di Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Kampung Cipetir.
Hingga 2014, serpihan kepingan getah perca bertuliskan TJIPETIR masih saja ditemukan di pesisir pantai di seluruh Eropa.
Media online seperti Daily Mail dan koran NY Times memuat beritanya, lalu menyebar ke BBC, HuffingtonPost dan banyak website lainnya serta beberapa penerbitan asal Prancis, Lefigaro, memuat tulisan panjang tentang hal serupa dan pernah mengangkatnya pada April 2014.
Mengutip pemberitaan media Prancis, Williams menyatakan potongan tersebut kemungkinan berasal dari puing-puing Titanic yang tenggelam pada 14 April 1912.
“Saya memeriksa data manifestnya dan ditemukan adanya benda yang berasal dari gutta-percha,” jelasnya. Namun di musim panas 2013, Williams menemukan bukti lain.
Williams pun menemui seorang pakar Oseanografi, Curtis Ebbesmeyer, yang mendalami dan melacak peristiwa kapal-kapal tenggelam. Menurut Ebbesmeyer, potongan TJIPETIR kemungkinan besar sudah mengapung dan akhirnya sampai ke pantai selama sekitar 100 tahun.
2. Produk-produk dunia dari kepingan TJIPETIR
Pabrik Gutta Percha TJIPETIR berdiri sejak zaman kolonial Belanda dan telah mencatatkan sejarah dalam perjalan Republik Indonesia. Pabrik ini menyuplai hampir sebagian besar kebutuhan lateks di seluruh dunia.
Pada saat Belanda masih menjajah Indonesia, produksi dari pabrik ini cukup banyak. Hasil produksinya diekspor ke luar negeri untuk digunakan sebagai bahan pembuat bola golf, pembungkus kabel telegraf, bahan pembuatan gigi palsu, hingga bahan untuk melindungi kabel telegraf di dasar laut, dan hidung boneka Teddy Bear.
Bahan dasar yang digunkan dalam produksi adalah daun-daun pohon gutta percha, atau disebut dengan Karet Oblong oleh masyarakat lokal. Namun, sejatinya bukanlah karet, tapi mirip gutta-percha atau getah perca. Tanaman tersebut mempunyai nama lain seperti Getah Merah, Isonandra Gutta, Red Makasar, Gutta Seak, atau Gutta Soh.
Gutta-percha yaitu lateks koagulasi dari cairan getah murni yang dapat mengeras dan berasal dari pohon jenis Sapotaceae yang dapat dipadatkan, umumnya terdapat di Indonesia, Semenanjung Malaysia, Australasia, Taiwan bahkan Kepulauan Solomon.
BACA JUGA:
Dulu Pagadungan sekarang Cicurug, 5 fakta sejarah wilayah paling utara Sukabumi
Apun Gencay, widadari ti Cikembar Sukabumi pemicu tewasnya Bupati Cianjur
Penduduk purba Gunung Padang menyebar ke Sukabumi, 5 fakta gen XYZ mesti tahu
3. Didirikan Tromp de Haas
Pabrik TJIPETIR diprakasai Tromp de Haas pada 1885 dan selesai dibangun pada 1921 masa kepemimpinan H Van Lennep. Setelah Indonesia merdeka, Gutta Percha TJIPETIR pernah dihanguskan oleh pejuang pada 1947, saat Belanda melancarkan agresi militernya.
Proses produksi mulai dari material mentah berupa daun pohon perca hingga menjadi bahan yang nantinya bisa diolah menjadi bermacam material.
Diperoleh informasi jika berdirinya pabrik ini merupakan dampak disahkannya UU Agraria tahun 1870. Undang-undang tersebut merupakan titik di mana Cultuur Stelsel atau kita kenal dengan sistem tanam paksa (1830-1870) berakhir.
Dengan disahkannya UU agraria 1870, jalan bagi pengusaha swasta terbuka bebas, sehingga para pemilik modal bisa menjalankan usahanya di Hindia Belanda (Indonesia).
4. Meski penjajah, TJIPETIR perhatikan kesejahteraan pekerja
Pada masa kejayaannya, pabrik TJIPETIR selalu ramai dengan aktivitas pekerja meskipun berada di tengah hutan. Sebagai alat transportasi bahan mentah gutta percha, dibangun kereta gantung.
Pabrik Gutta Percha TJIPETIR mampu menghasilkan bahan lateks yang dihasilkan dari daun pohon percha hingga ratusan kilogram. Material ini dikerjakan oleh ratusan pekerja yang sebagian besar direkrut dari desa di Kecamatan Cikidang.
Pada zaman kolonial Belanda, pabrik ini memiliki ratusan pekerja yang dibagi dalam tiga shift dengan jam kerja masing-masing tujuh jam.
Pada tahun 1939, pekerja di pabrik TJIPETIR menerima upah sebesar Rp15 sen. Meskipun dikenal milik pengusaha Belanda, namun Tjipetir sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya. Selain mendapat honor uang,para pekerja pun mendapat tunjangan beras.
Tidak heran jika pada masa jayanya, pabrik Gutta Percha TJIPETIR menjadi roda penggerak ekonomi di wilayah Cikidang. Setiap awal bulan, saat pegawai menerima gaji, halaman depan pabrik sudah seperti pasar kaget dari mulai penjual makanan hingga pakaian.
5. Masih berproduksi hingga kini
Saat ini, produksi getah perca tidak sebesar saat zaman kolonial. Sepanjang tahun 2014 saja, pabrik TJIPETIR hanya mengerjakan hingga 16 kilogram material dari getah percha.
Bahkan, saat ini pekerja pun tinggal tujuh orang saja. Padahal, lima hingga sepuluh tahun lalu, jumlah pegawai tercatat masih kisaran 70 orang.
Pabrik tetap berproduksi meskipun hanya menerima sedikit pesanan, salah satunya dari produsen ban mobil Gajah Tunggal, selain perusahaan dari Jepang dan Korea. (dari berbagai sumber)