Satu fakta unik lainnya adalah tahukah kamu bahwa panen kopi pertama kali VOC yang menjadi pemicu kejayaan kopi Nusantara adalah dari perkebunan di Sukabumi, yakni Perkebunan Gunungguruh.
Sejarah kopi Nusantara tidak lepas dari peran Sukabumi sebagai produsen kopi utama yang disebut sebagai “emas hitam” di masa kolonial. Meskipun kopi bukan berasal dari Sukabumi, bahkan bukan dari Nusantara, namun iklim yang cocok untuk jenis kopi yang digemari seperti Arabika, Liberika dan Robusta, menegaskan peran penting Sukabumi dalam sejarah perkopian dunia.
“Kedekatan Sukabumi dan kopi di antaranya dapat dilihat dari nama beberapa wilayah di Sukabumi, yang secara toponimi, bercirikan kopi seperti Gunungkopi di Gunungguruh, Selakopi di Karang Tengah, Selakopi di Cicantayan dan nama-nama kampung kopi lainnya,” terang Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah.
Satu fakta unik lainnya adalah tahukah kamu bahwa panen kopi pertama kali VOC yang menjadi pemicu kejayaan kopi Nusantara adalah dari perkebunan di Sukabumi, yakni Perkebunan Gunungguruh.
Nah, Gengs, untuk lebih jelasnya, berikut adalah lima catatan upaya milenial Sukabumi mengembalikan kembali kejayaan si emas hitam Sukabumi di pentas nasional dan internasional.
[1] Gunungguruh adalah pionir
Biji kopi sejatinya berasal dari Abbesinia atau yang kini dikenal dengan Ethopia. Kemudian, kopi diperkenalkan sebagai minuman oleh bangsa Arab dan disebarkan melalui Pelabuhan al-Mukha atau Mocha, atau Mokha yang merupakan sebuah kota pelabuhan Laut Merah di pantai Yaman. Itulah asal muasal munculnya jenis kopi populer “mocca.”
Selanjutnya, kopi tiba di Sukabumi melalui pejabat Belanda yang membawanya ke Batavia dari Malabar (India) pada 1656. Biji kopi kemudian ditanam di Batavia oleh Gubernur Jendral Van Outhoorn, namun gagal akibat banjir dan gempa. Cara kedua konon melalui stek dari perkebunan Malabar yang dikirim pada tahun 1699 seiring dengan diresmikannya Cianjur sebagai regentschap/kabupaten.
Hasilnya kemudian dikirim ke heren zeventien (para komisaris VOC di Belanda) dan diteliti di Kebun Raya Amsterdam (Hortus Botanicus) dan disimpulkan sebagai jenis kopi yang unggul. Selanjutnya, kopi diujicoba di wilayah pedalaman salah satunya di wilayah Cianjur melalui Bupati Cianjur, Wiratanudatar III. Wilayah kadaleman Cianjur saat itu meliputi Sukabumi utara sekarang, yaitu Gunungparang hingga Pagadungan (Cicurug).
“Tahun 1707, pasca ditumpasnya perlawanan Prawatasari, dilakukan percobaan penanaman kopi di Gunungguruh, yang waktu itu masuk wilayah administratif Cianjur. Patih Wiranata ditunjuk oleh kakaknya, Wirataudatar III, untuk menangani langsung penanaman kopi di Gunungguruh,” tambah Irman.
Gunungguruh dipilih karena merupakan wilayah yang berpenduduk ramai sehingga disebut grote negorij. Gunungguruh serta wilayah Sukabumi lainnya, yaitu Jogjogan, Pondok Opo dan Muara Ratu (Pelabuhan Ratu) pernah diinspeksi oleh Abraham van Riebeeck (cucu pendiri Capetown di Afrika Selatan) pada 1709, sebulan menjabat Gubernur Jendral menggantikan Van Hoorn.
Van Riebeeck mengunjungi Pelabuhanratu dalam rangka pemetaan dan pencarian belerang. Sepulang ia dari Pelabuhanratu, yaitu April 1711 dilakukanlah panen kopi pertama dari Sukabumi dan wilayah Cianjur yang hasilnya sangat memuaskan sehingga Wiratanudatar III dijuluki penanam kopi terbesar, bernilai 1.216.527 gulden atau setara dengan 202.271,25 ringgit.
[2] Para pencerah dunia dari perkebunan kopi di Sukabumi
Kopi dari Sukabumi dan Priangan merajai pasar kopi dunia dan memenuhi kedai-kedai kopi di Eropa. Tak sekadar nikmat diseruput, kopi Sukabumi ternyata memengaruhi perubahan sosial politik di Eropa. Kedai kopi merubah kultur Eropa sebagai peminum anggur menjadi peminum kopi. Kedai-kedai kopi menjadi tempat bertukar informasi dan menjadi gerbang ide-ide cerdas untuk kemajuan negeri maupun untuk mengadakan revolusi.
Voltaire biasa menghabiskan 40 gelas kopi sehari sehingga ide-ide tentang revolusi Perancis muncul. Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson yang memicu Revolusi Amerika juga nongkrong di kedai kopi Procope di Paris saat menjadi diplomat.
Dari Perkebunan kopi Sukabumi sendiri muncul orang-orang besar yang dikenal dunia seperti George Lodewijk Gongrijp dari perkebunan Sindangsari, Nyalindung. Ia ahli ekonomi dunia yang setara dengan Adam Smith. Kemudian muncul juga Anda Kerkhoven dari Perkebunan Panoembangan, Jampang Tengah yang menjadi pejuang melawan NAZI Jerman di Eropa. Ada pula Vincent van Gogh adik pelukis besar Van Gogh yang mengelola Perkebunan Kopi Saninten di Pelabuhanratu.
“Kopi seolah menciptakan orang-orang besar dengan pemikiran yang tajam dan berani. Tak hanya itu, para traveller juga menggambarkan kopi Sukabumi sedemikian rupa. Misalnya, Joseph Arnold (dianggap sebagai penemu bunga Rafflesia Arnoldi) yang mengunjungi Andries De Wilde di Sukabumi pada November 1815, menyebutkan tanaman kopi dalam perjalanannya dari Cianjur ke Sukabumi terhampar luas sejauh 10 km,” papar Irman lebih jauh.
Bencana bagi kopi Sukabumi terjadi sekitar tahun 1878, saat muncul hama wedang dan penyakit daun (hemileia vasatrix). Dampaknya, tanaman kopi Arabika di Sukabumi hancur. Dalam proses yang agak panjang, tanaman tersebut digantikan oleh kopi Liberika dan akhirnya Robusta yang dianggap lebih kuat daya tahan tinggi terhadap hama dan mudah penanganan holtikulturanya.
Selanjutnya, mulai tahun 1870 tanaman kopi mulai menurun. Di wilayah afdeling Sukabumi, hanya Jampang Tengah yang masih memiliki pohon kopi yang banyak. “Tahun 1910, jumlah tanaman kopi di seluruh Sukabumi total hanya 910.270 batang. Komoditi kopi lambat laun terus meredup karena muncul komoditas tanaman lain yang lebih menjanjikan, yaitu teh yang disebut emas hijau,” pungkasnya.
BACA JUGA:
Gen XYZ Sukabumi, ini lho sejarah dan resep bandros kelapa Cibadak
Semerbak si ‘emas hitam’ membius dunia, 5 fakta sejarah Kopi Sukabumi gen XYZ mesti bangga
[3] Rube Kopi, yang khas dari dari pelosok Sukabumi
Seiring waktu berjalan, era kebangkitan kopi lokal Sukabumi kembali bermunculan. Menjamurnya cafe-cafe dan kedai-kedai kopi di seantero Sukabumi menunjukkan semangat generasi milenial Sukabumi untuk kembali menduniakan si emas hitam Sukabumi.
Rube Kopi atau Rumah Belajar Kopi, salah satu tempat menarik yang wajib dikunjungi terutama bagi para penggila kopi. Lokasinya berada di pinggiran hutan koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Kampung Cipanas, Kadusunan Cisarua, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.
Rube Kopi bukan sekadar tempat nongkrong menikmati secangkir kopi, tetapi menyajikan banyak hal menarik di antaranya proses pengolahan kopi lokal hingga menjadi kopi berkualitas dan bernilai jual tinggi.
Keberadaan Rube Kopi ini sejalan dengan upaya menggali potensi wisata di Kabandungan. Selain itu, akan berdampak pada meningkatnya pendapatan petani kopi setempat. Di Kabandungan, kopi yang dibudidayakan jenis Arabika dan Robusta, dengan varian proses menjadi semi wash, honey, natural dan wine.
Pada dasarnya, kopi setiap daerah memiliki cita rasa dan aroma berbeda, tetapi dari pengakuan para penikmat kopi setempat, Kopi Arabika Cipeuteuy dinilai memiliki kelebihan yang khas baik rasa maupun aroma. Tingkat keasaman sangat pas, sehingga memberi sensai berbeda saat after test.
[4] Harga kopi asli Sukabumi sepahit rasanya
Namun, dengan segala keunggulannya, tahukah kalian jika selama ini para petani kopi di Sukabumi menjualnya kepada para pengepul seharga Rp1.000 hingga Rp2.000 per kilogram ceri kopi. Harga yang sangat tidak layak untuk setiap kilogram biji kopi yang di hasilkan.
Sungguh ironi, para petani kopi ini. Kopi terbaik di jual murah dan petani terus hidup dalam kesengsaraan di balik nikmatnya secangkir kopi yang dihargai mahal. Padahal, semua kopi yang tumbuh di Indonesia itu nikmat dan dunia sudah mengakuinya. Tinggal bagaimana cara kita menanam dan mengolahnya sehingga memiliki nilai jual tinggi.
Di sisi lain, para petani kopi selayaknya menikmati hasil dari nikmatnya kopi Sukabumi. Mereka perlu dirangkul untuk menghasilkan kopi yang memiliki nilai jual dan diterima oleh pasar. Penting diingat ya, Gengs, membiarkan para petani hidup dalam keterpurukan, berarti kepunahan kopi asli Sukabumi hanya tinggal menunggu waktu.
[5] Menjaga kualitas kopi Sukabumi
Berawal dari keprihatinan akan kesejahteraan para petani kopi, sekelompok mileinal yang peduli akan kelestarian kopi asli Indonesia membuat wadah yang bertujuan mengedukasi para petani dari ketidaktahuan akan khasiat kopi yang dihasilkannya. Petani diajak melakukan penanaman, pemeliharaan bahkan menjual biji kopi sesuai proses yang semestinya kopi Sukabumi asli.
Selain melakukan edukasi berkesinambungan, Komunitas Edukopi secara bertahap melakukan pendekatan kepada para petani dengan melakukan diskusi langsung seputar permasalahan yang dihadapi mereka dari mulai tata cara panen yang benar, menjemur, hingga membantu agar para petani mendapatkan harga jual kopi Sukabumi yang tinggi.
Cara panen yang dilakukan petani selama ini, memetik dengan cara biji kopi sekaligus atau di kenal dengan istilah petik sekaligus (parol), memaksa petani hanya mampu panen satu kali dalam satu tahunnya. Edukasi yang diberikan kepada para petani adalah hanya memanen biji kopi yang tua (merah) saja. Cara ini akan membuat petani kopi Sukabumi menikmati panen sepanjang tahun. Selama ini para petani masih mengejar quantity di waktu panen tanpa mempedulikan kualitas biji kopi yang akan dihasilkan.
Duh, jangan sampai para petani kopi Sukabumi ini layaknya tikus mati di lumbung padi ya, Gengs. Karena biji kopi kualitas terbaik dijual dengan harga rendah ke para tengkulak, lalu dipasarkan ke pabrik, bahkan ke luar negeri dengan harga selangit.
Dari berbagai sember