Wilayah yang dituduh sarang kaum fanatik di wilayah barat Sukabumi adalah Cisaat, Cibadak, dan Cicurug. Stigma ini semakin tebal, ketika Syarekat Islam membangun kekuatannya di Cicurug, Parungkuda, dan Kalapanunggal.
Hai Gaess, pernah mendengar diksi fanatik, radikal, atau makar yang dikaitkan dengan Islam? Ternyata semenjak era kolonialisme Belanda, stigma negatif terhadap umat Islam di Sukabumi sedah pernah terjadi lho. Namun, pada masa kolonial stigma negatif tersebut berkaitan erat dengan sikap masyarakat Sukabumi yang memilih berseberangan atau oposan terhadap kebijakan penguasa saat itu, penjajah Belanda.
Studi kasus di Sukabumi menunjukan bahwa stigma tersebut dilakukan oleh penjajah kepada kaum yang dianggap tidak mau berkompromi dengan penjajah.
Nah, biar gak gagal faham seperti soal DI/TII, simak kuy lima faktanya, Gengs.
[1] Ketakutan dan kekeliruan kolonial terhadap citra Islam
Persoalan stigma terhadap kaum muslim dimasa lalu tidak lepas dari memori perang salib di Eropa, perang yang cukup rumit karena mencampuradukan persoalan teologis, politis, dan kultural. Nah, saat kolonialis awal seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara, mereka mencari rempah-rempah sambil membawa semangat 3G (Gold, Gospel, Glory) yang artinya mencari kekayaan, penyebaran agama, dan kejayaan.
Para kolonialis tersebut masih membawa prasangka-prasangka buruk tentang Islam, misalnya menganggap Islam sebagai agama terbelakang dan penuh takhayul, sementara penganutnya dianggap sebagai orang sesat yang tidak menyenangkan, tidak bisa dipercaya, dan fanatik.
Pun itu yang terjadi saat VOC menancapkan kekuasaannya di Batavia pada 1619, Jan Pieterszoon Coen menghindari hubungan dan kontak dengan umat Islam yang disebut sebagai kaum ingkar, sesat, dan bertakhayul sejauh mungkin. Coen bahkan menganggap Islam sebagai agama berbahaya, sehingga ia membuat aturan yang mengucilkan Muslim dari setiap aliansi dengan Belanda. Bahkan, seorang serdadu Belanda VOC bernama Anthonio Visoso yang masuk Islam dan dikhitan, pun dipenjarakan oleh Coen.
Coen sendiri akhirnya tewas pada 1629, saat penyerbuan kedua ke Batavia oleh seorang Raja Muslim yang paling kuat di Jawa, Susuhunan Mataram. Stigma dan ketakutan yang terus dibawanya tersebut malah menimbulkan persoalan baru pada kepentingan VOC. Sejak VOC menguasai wilayah selatan Gunung Gede pada 1677, VOC masih belum bisa memanfaatkan kekuasaannya karena masih belum memahami sepenuhnya karakter masyarakat setempat, sehingga baru melakukan survey sepuluh tahun kemudian atau pada 1687.
Hal itu cukup beralasan, mengingat pada 1683 terjadi pemberontakan di wilayah Jampang (sekarang wilayah Kabupaten Sukabumi). Ulama kharismatik dari Sulawesi, Syekh Yusuf Almakasari, yang melarikan diri dari Banten melakukan gerilya di wilayah di Jampang sebelum akhirnya tertangkap pasukan Kompeni di Cirebon. Pangeran Purbaya, putra Sultan Ageng Tirtayasa, juga pernah bergerilya di lereng Gunung Gede saat pecah konflik dengan sadaranya, Sultan Haji, di Banten.
Wilayah Sukabumi diberi stigma sebagai wilayah pembangkang dan menjadi sarang pemberontak yang menentang kekuasaan kolonial. Namun jika kita telaah lebih jauh, pemberontakan tersebut dipicu oleh keterlibatan VOC dalam kasus politik internal dan berupaya memecah belah Kesultanan Banten.
[2] Penentangan terhadap tanam paksa yang tidak adil
Percobaan penanaman komoditas pertanian di wilayah Jampang dirasa tidak adil bagi masyarakat, sehingga menimbulkan reaksi dan perlawanan. Jan Breman dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, menyebut bahwa dalam percobaan penanaman komoditas masyarakat selalu melakukan pembangkangan dengan cara merusak tanaman atau melarikan diri ke hutan dan berladang pindah-pindah untuk menghindari tanam paksa.
Kegiatan pembangkangan ini seringkali dimotori kalangan ulama sebagai kaum terdidik berpengaruh, sehingga wajar jika kemudian Muslim Sukabumi dianggap sebagai penganut agama yang membahayakan ketertiban.
Pada Maret 1703, Haji Prawatasari dari Jampang memobilisasi 3.000 rakyat Jampang untuk menjadi gerilyawan menentang tanam paksa nila (tarum). Pemberontakan ini dianggap sebagai perlawanan para Islamis, mengingat Gubernur Jenderal Joan van Hoorn dalam instruksinya pada 22 Maret 1706 menyebut, Prawatasari sebagai Paap (Pope/Paus/Imam).
Pasca penumpasan perlawanan Prawatasari, tahun 1710 dilaporkan di daerah Jampang kembali muncul perlawanan dipimpin seorang ulama melibatkan sekira 1.000 petani. Sang ulama kemudian ditangkap dan dibawa ke Batavia dengan cara dirantai.
Tiga tahun kemudian, di tempat yang hampir sama, kembali muncul aksi kolektif menentang para Bupati Kompeni. Aksi dipimpin Dermakusuma dengan dukungan dua ulama bernama Tanuputra dan Wiradana yang mengancam akan membunuh Bupati Cianjur, Cibalagung, Cikalong, dan Cileungsir. Hal ini seolah memelihara ketakutan (phobia) pemerintah kolonial terhadap Islam. VOC kemudian mengantisipasinya dengan membuat jarak melalui pembentukan kota-kota kolonial yang tidak jarang dibentengi tembok kokoh yang memisahkan mereka dari umat Islam.
Di Batavia sendiri muncul upaya untuk menghancurkan klenteng-klenteng Tionghoa dan masjid, namun upaya itu tidak berhasil. Namun, kemudian keluar peraturan berisi larangan melakukan pertemuan umum dan rahasia di dalam masjid.
BACA JUGA:
Memahami ideologi politik serikat buruh di Sukabumi pasca kemerdekaan
A.H. Nasution, desertir KNIL yang bolak-balik Sukabumi demi kelabui Belanda
[3] Stigma fanatik dan upaya memisahkan agama dan pemerintahan
Pasca bangkrutnya VOC, tuduhan fanatik masih terus dihembuskan pemerintah Hindia Belanda. Hal berbeda saat Inggris berkuasa, dimana Andries De Wilde melakukan kerjasama dengan para imam masjid di Sukabumi dan bahkan memberi kesempatan mereka melakukan ibadah haji. Namun, lagi-lagi persoalan tanam paksa mendapat penentangan di beberapa daerah menjadi pemicu, seperti perlawanan-perlawanan kecil di wilayah Jampang masih terjadi hingga abad ke-19.
Isu-isu fanatisme juga terus diangkat untuk menunjukan keburukan Islam, misalnya dalam De Locomotief edisi Februari 1872, di Kawung Luwuk, Sukabumi diberitakan tentang pembunuhan seorang ayah oleh anaknya yang baru pulang dari Mekah. Kasus ini tidak jelas ujungnya karena sang anak akhirnya dibebaskan meski dinyatakan sehat dan tidak gila.
Menjelang akhir abad ke-19 para pemikir ahli kolonialis seperti Holle, Snouck Hurgronje, dan Hazeu menilai bahwa perlawanan-perlawanan tersebut bisa diredam melalui domestifikasi terhadap Islam dan Muslim melalui pendekatan kultural, bukan teologis. Menurut mereka, fanatisme umat Islam hanya bisa dilenyapkan melalui enkulturisasi atau asosiasi kultural yang pada intinya merupakan pembelandaan atau pembaratan kaum muslim (westernisasi). Kenusantaraan, menurut mereka, saat itu belumlah ada.
Upaya ini belum berhasil karena hanya beberapa pejabat lokal yang rela mengadopsi budaya Eropa, sementara lainnya keukeuh menjadikan Islam sebagai salah satu pilar kekuasaan lokal. Karel Frederick Holle yang sempat tinggal di Parakansalak bersama pamannya Willem Van Der Hucht, berpendapat bahwa para haji adalah penghasut fanatisme dan ketertutupan, dia mengusulkan agar mereka tidak diberi jabatan tinggi di pemerintahan.
Holle bahkan berupaya memperkecil dan melenyapkan fungsi keagamaan seorang bupati, sebagai kepala pemerintahan pribumi tertinggi. Dalam peraturan pemerintah Hindia Belanda, bupati memang merangkap “kepala agama”, namun saat dia ditugaskan menerjemahkan aturan yang sama, Holle mengubahnya menjadi tugas mengontrol perihal agama melalui pengawasan polisi.
Holle juga mengusulkan pemisahan tegas antara agama dan negara, hingga melakukan tes bagi guru-guru agama untuk pesantren yang baru didirikan. Beberapa wilayah yang dituduh sebagai sarang kaum fanatik di wilayah barat Sukabumi adalah Cisaat, Cibadak, dan Cicurug. Stigma ini semakin tebal di kemudian hari, ketika Syarekat Islam berhasil membangun kekuatannya di Cicurug, Parungkuda, dan Kalapanunggal.
Orang-orang Belanda tidak membedakan antara fanatik dan saleh, Arhemsche Courant edisi Agustus memberitakan tentang orang Sukabumi sebagai fanatik, saat bangsawan Yogya yang berkunjung ke Sukabumi dan ingin mengadakan jamuan minum anggur di Bulan Ramadhan, namun ditolak para pejabat lokal. Bagi masyarakat lokal sikap tersebut adalah bentuk kesalehan.
[4] Tuduhan radikalisme terhadap tarekat Islam
Pada 1885, koran Het Nieuws van den Dag menyebut Sukabumi sebagai sarang berkumpulnya kaum radikal, dalam berita disebutkan bahwa masyarakat Sukabumi memiliki lima tempat (masjid) yang dijadikan tempat berkumpulnya kelompok-kelompok fanatis agama. Orang-orang yang ikut dalam kelompok-kelompok ini, yang merupakan kaum fanatik, biasanya berkumpul usai melaksanakan shalat Jumat untuk membahas Perang Sabil atau Perang Suci.
Pada 5 September 1886, K.F Holle melaporkan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tentang sikap para pejabat lokal di Jawa Barat, terutama sejumlah bupati dan penghulu yang mengikuti Tareqat Naqsabandiyah yang dinilai berbahaya.
Penghulu Cianjur digambarkan sebagai sebagai fanatik dan anti Eropa, padahal yang sebenarnya terjadi adalah penghulu tersebut menolak meminum anggur pada saat jamuan pesta Asisten Residen. Karena penolakan itu, sejumlah orang Eropa memaksa sang penghulu membuka mulutnya, kemudian menuangkan anggur ke dalamnya. Sejak saat itulah sang penghulu memilih menjauhi kumpulan-kumpulan bersama orang-orang Eropa.
Sayangnya, sang penghulu kemudian dilaporkan dengan tuduhan bersama kelompok fanatis Islam terlibat dalam komplotan upaya pembunuhan orang-orang Eropa di Priangan. Beberapa masukan menjadi bahan pertimbangan pemerintah kolonial saat itu, termasuk laporan Residen Priangan tahun 1892 yang menyimpulkan munculnya kembali kebangkitan gerakan Naqsabandiyah di wilayah Sukabumi dan Cianjur. Mereka dianggap membahayakan dan mulai merekrut warga untuk disesatkan sehingga perlu segera diawasi.
Salah seorang Islamis terkenal di Indonesia adalah Snouck Hurgronje. Ia adalah orientalis yang pura-pura masuk Islam (menurut pendapat van Koningsveld) dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Snouck kemudian diangkat menjadi penasihat pemerintah kolonial dalam urusan Islam dalam perang Aceh, untuk menjauhkan Islam dari ulama dan Alquran.
Nah, Gaess, rupanya Snouck pernah menginjakkan kaki di Sukabumi pada 16 Juli 1889, dalam rangka mempelajari gerakan Islam. Seorang Patih Sukabumi, Soeria Natabrata, pernah dipuji Snouck Hurgronje sebagai patih yang rajin dan maju. Pada 1925, laporan bertema kekhawatiran terhadap tarekat ini juga diangkat oleh Adviseur Voor Inlandsche Zaken RA Kern terhadap aktivitas tarekat di wilayah Sukabumi dan Cianjur yang berkembang di pesantren dan dipimpin para ulama kharismatis.
[5] Tuduhan upaya makar yang akhirnya terungkap hoax oleh residen
Pada 29 September 1885, koran Javabode menerbitkan artikel cukup menggemparkan, editor utamanya (Brunner) menulis artikel utama berjudul Perang Sabil (Perang Suci), yang saat itu dikategorikan sebagai upaya makar, serta melaporkan adanya rencana besar untuk melakukan perampasan, perampokan, dan pembunuhan terhadap orang Eropa.
Brunner juga menulis laporan rinci tentang bahayanya fanatisme, serta menyebut beberapa pemimpin yang terlibat. Para tokoh agama di Cianjur dan Sukabumi dituduhnya tengah bersiap-siap melakukan pemberontakan besar melalui pembentukan kelompok rahasia.
Konon, Brunner mendapatkan informasi ini dari Penghulu Aceh yang sudah pensiun dengan peringatan bahwa aksi akan terjadi dalam dua atau tiga bulan karena pemerintah lalai. Laporan ini kemudian masuk ke polisi dan pemerintah dengan permintaan untuk memperkeras sikap terhadap kaum radikal tersebut.
Akibatnya, beberapa pribumi yang diduga terlibat komplotan kemudian ditangkap dan diinterogasi. Gubernur Jendral O. Van Rees kemudian melakukan investigasi dan berkonsultasi dengan Residen Bandung. Namun, faktanya ternyata terbantahkan. Menurut Residen, berita tersebut sangat dilebih-lebihkan, Bupati Cianjur sudah dua puluh tahun mengikuti tarekat dan tak pernah terjadi apapun. Bahkan, sebelumnya muncul desas-desus bahwa semua orang Eropa akan dibunuh dan ditembak mati saat perhelatan pacuan kuda, namun hal itu hanya hoax yang disebarkan untuk memicu ketakutan.
Sementara dalam isu perang sabil di Sukabumi, tertuduhnya adalah seorang patih, jabatan tertinggi pribumi saat itu karena belum menjadi Kabupaten. Terungkap sebuah persoalan politik lokal yang melibatkan keluarga mantan Patih Sukabumi, dimana putra sang patih berambisi menggantikan ayahnya, dan mengajukan diri kepada pemerintah Hindia Belanda untuk dipilih.
Namun, karena tidak terpilih dan gagal mendapat jabatan patih, dia kemudian melakukan aksi agar timbul ketidakpercayaan masyarakat dan pemerintah terhadap patih. Melalui perantara Sayyid Muhammad Assegaf yang pernah terlibat peperangan lama dengan pemerintah Belanda di Aceh, dia menyebar fitnah terhadap Patih Sukabumi dan koleganya yang kesemuanya merupakan anggota Tareqat Naqsabandiyah.
Residen kemudian mengungkap fakta tambahan tentang kepentingan Musa, kawan dan penasehat Holle dalam kasus ini. Salah satu anaknya Musa yang memiliki cacat fisik dan mental karena jatuh dari kuda sejak kecil ditempatkan sebagai penghulu di Wanaraja, Garut. Musa ingin mendapatkan jabatan lebih tinggi untuk anaknya di Sukabumi atau Cianjur jika ada jabatan lowong, mengingat kedua anaknya yang lain sudah mendapatkan jabatan bagus.
Motif ini membawa indikasi upaya Musa untuk memperkeruh situasi di Sukabumi dan Cianjur, dengan tujuan utamanya mengganti penghulu di kedua wilayah tersebut.
Nah, ternyata orang Sukabumi itu bukan radikal ya, Gaess. Sejak dulu warga Sukabumi memang Muslim yang anti ketidakadilan. Kalau sebagian yang fanatik bisa jadi karena semata fanatik, alias bukan cuma dalam urusan agama.
Jangan sampai stigma negatif ini kembali dihembuskan dengan tujuan untuk memecah belah semangat persaudaraan kita, karena akan menyakiti saudara sesama Muslim ya, Gaess. Jika masih ada dan terus dihembuskan, kita harus melawannya dengan cara cerdas dan elegan, salah satunya dengan tulisan dan argumentasi yang didukung data dan fakta akurat.
Sukabumi urang, dialus-alus ku urang nya, Lur.