Industri tekstil dan garmen Jawa Barat yang paling terpuruk, Gubernur Ridwan Kamil salahkan kenaikan upah.
Beberapa tahun belakangan ini kondisi industri dan ketenagakerjaan di Jawa Barat (termasuk di Kokab Sukabumi) cenderung suram, jika tidak mau dikatakan berada dalam keadaan krisis. Bagaimana tidak, setidaknya ada 140 pabrik di Jabar yang tutup dan pindah ke daerah lain. Baik tutup maupun pindah, efeknya sama saja bagi Jabar, pengangguran meningkat dan income ke kas daerah berkurang.
Dan efek selanjutnya, ya silakan disimpulkan sendiri. Pasalnya, soal ekonomi itu soal perut, tidak bisa disepelekan, “tidak bisa dibesok-lusakan.” Nah, kalian Gengs, mesti ngeh mengenai kondisi ini. Berikut lima info yang dirangkum Sukabumixyz.com dari berbagai sumber.
[1] 140 perusahaan tutup dan hengkang dari Jabar
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) mengatakan, lebih dari 140 perusahaan di Jawa Barat tutup, atau pindah dari wilayahnya gara-gara upah. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat mencatat dalam 3 tahun terakhir terdapat 21 pabrik pindah dari Jawa Barat, dan 143 pabrik tutup. Dari total 164 pabrik, 48 persen merupakan perusahaan garmen, 21 persen pabrik tekstil, dan sisanya manufaktur lain.
“Ada 100-an lebih pabrik yang tutup di Jawa Barat, ada yang pindah juga. Totalnya ada 140-an, antara yang tutup dan pindah. Pindah terbagi ada yang pindah ke provinsi lain, ada yang keluar negeri. Hampir semua, alasan penutupan itu berkaitan dengan upah yang tinggi,” kata dia selepas bertemu dengan perwakilan International Labor Organization (ILO) di Bandung seperti dikutip dari Tempo.co, Senin (29 Juli).
[2] Di Sukabumi, 9 pabrik tutup
Sementara itu, di Kabupaten Sukabumi dari data yang pernah dirilis sukabumiXYZ.com, terhitung tahun 2018 sampai Februari 2019 saja, ada sembilan pabrik yang tutup dan hengkang. Menurut data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Sukabumi, akibat hengkangnya 9 pabrik itu, sedikitnya ada 5.000 buruh menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selengkapnya, baca PT SUG hanya puncak gunung es, dua tahun terakhir 5 pabrik di Sukabumi bangkrut
“Dalam catatan kami, sejak tahun 2018 hingga saat ini, sudah ada 9 perusahaan yang pindah dari Kabupaten Sukabumi,” kata Kadisnakertrans Kabupaten Sukabumi, Dadang Budiman seperti dikutip dari Radar Sukabumi, Rabu (5 Februari).
[3] RK sebut kenaikan upah penyebab utama pabrik tutup
Kembali ke kondisi di Jabar, RK mengatakan, upah menjadi penyebab utama pabrik memilih tutup atau hengkang. Upah terlalu bervariasi dikarenakan sistem upah Indonesia yang terdesentralisasi pada kepala daerah. “Ini yang jadi sorotan mereka (ILO), subjektivitas pengupahan ini gap-nya terlalu jauh. Contoh Pangandaran Rp1,6 juta, kalau tidak salah dengan Karawang Rp4,2 juta, bisa sampai Rp2,5 juta bedanya,” kata Ridwan.
Pernyataan RK diamini Ketua Apindo Jabar Dedy Widjaja. “Upah di Jawa Barat itu ada yang sangat tinggi, di antaranya tertinggi di Indonesia, yaitu di Karawang. Ada juga upah yang daerah lain seperti Majalengka dan Pangandaran di bawah Rp2 juta. Tapi masih banyak perusahaan yang keluar dari Jawa Barat, dia pindah keluar negeri, ada yang ke Jateng dan sebagainya,” kata dia.
Editor’s Picks:
Menjahit catatan sejarah sisa amuk massa di Pabrik Tekstil Tjiboenar Kadudampit Sukabumi
Menggali serpihan sejarah Pabrik Teh Goalpara Sukabumi yang terbakar
[4] Sistem pengupahan dikritisi
Sistem upah yang saat ini berlaku intinya membuat kinerja usaha tidak efisien. Dedy Widjaja misalnya mencontohkan, protes upah setiap tahun lewat unjuk rasa justru sering terjadi di daerah dengan nilai upah yang sudah tinggi seperti di Karawang dan Bekasi. “Daerah dengan upah yang rendah malah hampir tidak pernah unjuk rasa. Mereka mensyukuri ada industri yang datang ke sana,” kata dia.
Dalam kondisi inilah ILO diharapkan dapat membantu menyiapkan usulan pada pemerintah pusat mengenai sistem pengupahan yang relatif lebih baik. “Hasil ILO ini akan memberikan usulan sistem pengupahan yang lebih baik menurut standar rasa keadilan, sehingga bisa menjaga kualitas ekonomi Jawa Barat jangan sampai terkorbankan. Buruh ikut sejahtera, tapi investasi tidak ada yang pergi dari Jawa Barat,” kata Gubernur RK.
Usul lain dari ILO adalah agar Indonesia mengelompokkan jenis industri berdasarkan provinsi, lalu daerah masing-masing menawarkan penghitungan sistem kebutuhan layak yang wajar di tiap daerah. “Misalkan, Jabar fokus ke manufaktur. Jateng khusus yang tekstil atau apa. Itu harus pusat (yang memutuskan). Sehingga nanti industri tidak terlalu beragam. Perbedaan keragaman industri yang mengakibatkan upahnya itu jomplangnya gak pernah selesai,” ujar RK.
[5] Industri tekstil Jabar terpuruk
Kenyataan bahwa industri tekstil dan produk tekstil di Jabar terpuruk sebenarnya sudah disinyalir sejak lama. Penyebab beragam dari mulai upah pekerja yang tinggi, persaingan dengan produk impor, hingga potensi beban biaya pengelolaan limbah.
Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar tahun 2018, sebanyak 19 industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tutup akibat tingginya biaya operasionalisasi. Sementara sembilan perusahaan lainnya direlokasi. Lima perusahaan direlokasi ke Jawa Tengah. Adapun tiga perusahaan lainnya pindah ke Garut dan Majalengka yang upah minimum kota/kabupaten (UMK)-nya lebih rendah.
Sedikitnya 24.000 orang kehilangan pekerjaan. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik Jabar 2018 menyebutkan jumlah industri tekstil dan pakaian jadi di Jabar sebanyak 1.880 unit hingga tahun 2015.
”Industri TPT di Jabar tengah terganggu. Penyebab utamanya upah tenaga kerja yang relatif tinggi,” ungkap Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Jusak Sulaiman di Kota Bandung, awal 2019 lalu.
Sementara itu, pada 2019, ada tiga daerah di Jabar yang memiliki upah lebih dari Rp4 juta. Kabupaten Karawang adalah yang tertinggi, Rp4,23 juta. Sementara upah tertinggi di Jateng tercatat di Kota Semarang, Rp2,49 juta. Dengan selisih upah di atas Rp 1 juta saja lebih menguntungkan memindahkan industri ke Jateng.
Sebagai ilustrasi, katakanlah sebuah pabrik mempunyai 1.000 pekerja. Nah, dengan selisih upah Rp1 juta saja, pengusaha dapat menghemat Rp1 miliar per bulan atau Rp12 miliar per tahun. Dana itu malah bisa digunakan membangun pabrik baru.
Nah, masalahnya sudah terbaca dengan terang benderang, bukan?
[dari berbagai sumber]