Wanita Sukabumi sebagai simbol keteguhan dan keberanian.
Wanita merupakan makhluk istimewa, dan terbukti sejarah telah banyak mencatatnya. Tidak terkecuali di Sukabumi. Meskipun secara fisik dan emosi memiliki perbedaan dengan pria, namun wanita Sukabumi memegang peran penting dalam banyak catatan sejarah.
Persepsi alam dan budaya secara universal menempatkan wanita dalam konotasi alam, tanah, dan ladang. Sedangkan pria dikonotasikan sebagai pacul atau benih. Pola pelabelan ini menempatkan wanita sebagai objek budaya, jika wanita adalah alam, maka laki-laki adalah budaya yang mengolahnya.
Cerminan di atas secara umum muncul dalam persepsi masyarakat di Sukabumi, dan menguatkan persepsi masyarakat yang selalu menempatkan wanita sebagai subordinasi kaum Adam. Mirisnya, Gengs, hal tersebut seperti sengaja dipelihara oleh kaum pria.
Namun, jika kita tarik jauh ke belakang, pada dasarnya wanita Sukabumi memiliki peran besar dalam menentukan masa depan Sukabumi pada masa-masa setelahnya. Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian, pertama menjelaskan sebelum masa penjajahan, dan kedua, pada masa penjajahan.
Berikut lima faktanya, Gaess.
1. Simbol keberanian dalam legenda Paku jajar di Gunung Parang
Pada masa Kerajaan Sunda misalnya, wanita sangat dihormati dan sejajar dengan pria. Filsafah yang hingga kini diwariskan misalnya, indung tunggu rahayu, bapa tunggul darajat, atau indung nu ngandung bapa nu ngayuga, jelas menempatkan perempuan sebagai ibu dari dan kehidupan itu sendiri.
Dalam rumpaka atau lirik lagu Paku Jajar Di Gunung Parang, karya salah seorang sastrawan sekaligus budayawan Kota Sukabumi, almarhum Ki Anis Djatisunda (Ki Rakean Puraga Sastra) dijelaskan, peran seorang ibu yang sedang mengandung yaitu Nyi Puntang Mayang menyelamatkan anaknya saat Kadatuan Pamingkis (Gunung Walat Cibadak) diporak-porandakan oleh pasukan Banten.
Proses penyelamatan itu dibantu wanita lain, yaitu Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang yang dengan segala daya dan upaya bersama suaminya menghindari gempuran pasukan Banten sehingga sang anak kemudian lahir dengan selamat.
Keberanian tersebut tercermin pula dalam legenda Ciwangi yang pernah diangkat kolumnis Kang Warsa. Sang raksasa, Danawa, yang menculik Tjai-Wangi karena jatuh cinta, kemudian dengan berani digulung oleh Tjai Wangi menggunakan anyaman daun suji sehingga warna kulit sang raksasa berubah menjadi hijau.
Sang Danawa kemudian menceburkan diri ke kubangan air panas (Cikudul). Namun, hal tersebut justru menyebabkan kulit Sang Danawa melepuh hingga kemudian tewas mengenaskan.
BACA JUGA:
Profil dan koronologi lengkap kasus pembunuhan wanita cantik asal Sukabumi di Jakarta
Cinta terlarang wanita Ciemas Sukabumi berujung maut, ini 5 kronologi pengungkapan kasusnya
Catatan dari Paris: Menyingkap alasan pria Eropa jatuh cinta kepada penari Sari Oneng Sukabumi
2. Keteguhan hati Nyi Pudak Arum
Nyi Pudak Arum, putri dari Nyai Raden Puntang Mayang, meskipun hanya sebagai pendamping Wangsa Suta, tetapi perannya sangat penting dalam cerita tradisi lisan yang menggambarkan kisah kehidupan legenda dan mitologi.
Ia digambarkan sebagai perempuan cantik dan pantang menyerah menolak pinangan para pejabat, jawara, dan gegeden yang tajir melintir, demi cinta sejatinya kepada pemuda idaman bernama Wangsa Suta.
Penangkapan dirinya oleh kaki tangan demangpun tak menyurutkan hatinya, tetap teguh meski akhirnya dibuang dan ditelan zaman. Hingga kemudian wanita cantik pemberani ini menjadi semacam penanda nubuat atau ramalan masa depan yang disampaikan oleh Resi Saradea, guru dari Wangsa Suta.
Bahwa Nyai Raden Pudak Arum sedang diutus oleh waktu dan diperintah zaman. Meskipun waktu dan zamannya sudah berbeda dan berganti, yakni apabila Gunung Parang sudah dipenuhi oleh rumah, dan Tegal Kole sudah berubah menjadi Kota, akan ada salah seorang perempuan cantik yang suka membimbing masyarakat, khususnya yang sedang menderita lahir maupun batin.
Ia hadir sebagai penyemangat dan senantiasa selalu memberi motivasi dan membesarkan hati perempuan, terutama yang disakiti oleh suaminya. Dan perempuan itu menurut Resi Raradea, adalah titisan Nyai Raden Pudak Arum.
3. Nyi Mas Purnamasari sosok pemimpin yang berani
Kisah ketangguhan lainnya, juga diperlihatkan dalam cerita Nyi Mas Purnamasari yang lari dari Pakuan pasca- Pajajaran Runtag ke daerah Babakan Cidadap, tidak jauh dari Cimandiri. Nyi Ratu Purnamasari diangkat sebagai Puun (kepala desa), ketangguhan Nyi Mas Purnamasari teruji saat dia menaklukkan Bajo (bajak laut) dari Nusa Barung (Jawa Timur).
Kapuunanpun dipindahkan ke tepi Pantai Pelabuhanratu, dan mengangkat anaknya Nyi Mayang Sagara dengan gelar Ratu Kidul, kisah rakyat ini mencerminkan bahwa kepala daerah wanita sudah ada sejak zaman dahulu di Sukabumi.
4. Feodalisme mereduksi marwah wanita
Munculnya feodalisme tidak lepas dari pengaruh Mataram pasca Prayangan Sumedang Larang yang merembet ke hampir seluruh wilayah tatar Sunda. Setting kisah Paku Jajar di Gunung Parang yang menunjukan bagaimana para lelaki memperebutkan Nyai Pudak Arum merupakan feodalisme masa pengaruh Mataram karena Demang Kartala memimpin Kademangan Mangkalaya yang berada di bawah pengaruh Mataram.
Pengaruh mataram sangat kental di kalangan elit sehingga mengubah beberapa budaya seperti undak usuk bahasa, peggunaan bahasa Jawa, tata cara ritual, prosesi pernikahan, hingga bagaimana wanita seharusnya ditempatkan.
Dalam konteks ini peran wanita kurang terlihat dan hanya sebagai pelengkap karena dalam budaya elit, di mana para pejabat mayoritas adalah laki-laki sementara istri hanya mendampingi.
5. Feodalisme menuntun peran wanita Sukabumi masa depan
Hal ini berbeda dengan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat (cacah), menunjukan pola sangat egaliter seperti kisah Kabayan dan Iteung yang berkembang di beberapa daerah, termasuk Sukabumi.
Masuknya Islam pertamakali melalui tahapan inklusif para wali tidak mengubah pola itu mengingat dalam Islam peran wanita sangat dijunjung tinggi. Hal ini tercermin misalnya dalam surat Annisa atau hadits tentang keutamaan seorang ibu dibanding ayah.
Namun kuatnya feodalisme menunjukan arah bagaimana pada akhirnya peran wanita ditentukan oleh “budaya” yang tidak diubah secara drastis dalam proses Islamisasi inklusif. Pengaruh ini tetap berkembang meskipun Kolonialisme sudah masuk mengingat para kolonialis tetap menggunakan pembesar lokal untuk menjadi kepanjangan tangannya. Hingga kemudian kolonialis menyerap budaya feodalime dalam budaya indies, meskipun pada awalnya masih kikuk.
Kisah tragis Apun Geuncay dari Cikembar yang hendak dijadikan selir oleh Bupati Cianjur Wiratanudatar III menegaskan kuatnya feodalisme di tatar Sukabumi. Baca kisahnya Apun Gencay, widadari ti Cikembar Sukabumi pemicu tewasnya Bupati Cianjur.
Jadi, jangan heran ya, Gengs, jika kemudian kalian menemukan kisah-kisah serupa wanita Sukabumi masa kini. Dari mulai keberaniannya, hingga nasib tragisnya akibat persepsi masyarakat yang selalu menempatkannya sebagai subordinasi kaum Adam.
LANJUTKAN MEMBACA: Wanita Sukabumi (part 2): Dari objek seksisme hingga kisah hebat yang disembunyikan
Hatur nuhun pak Irman, betul juga bahwa setiap orang tua yang dititipkan amanah merawat dan mendidik anak perempuannya, dan wadah formal lembaga pendidikan mulai usia dini hingga perguruan tinggi harus mampu dan kuat dalam menempatkan nilai-nilai derajat perempuan.
Dunia islami telah mengamati kewajiban seorang pemimpin memuliakan perempuan dan anak-anak serta kaum lansia dalam kehidupan yang bermartabat dihadapan penciptanya.
betul setuju