*The previous chapter: FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 8): Menyatroni sarang Shadow
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————
“Grace, kau baik-baik saja?” tanya Alice khawatir. Kevin dan Brian menatap Grace aneh.
“Kalian kenapa?” wajah Grace tiba-tiba berubah datar.
“Kau yang kenapa? Apa maksudmu kita akan bersenang-senang di sini? Apa kau sudah gila?” bentak Brian kesal. Grace terdiam.
“Aku mengatakan itu?” Grace menatap satu persatu rekannya itu seolah kebingungan. Mereka menatap Grace tak percaya.
“Kau tidak ingat? Yang benar saja!” ucap Kevin seraya menepuk udara kosong dengan sebelah tangannya. Grace tertawa keras.
“Aku bercanda. Kita akan bersenang-senang, tapi tidak sekarang.” Brian dan Alice menepuk keningnya.
Kevin menarik lengan Grace. “Kau memiliki selera humor yang buruk, Nona!” ucapnya kesal. Grace menyunggingkan senyum manis. Kevin melepaskan tangannya.
“Kalian terlalu gugup. Lagipula, kita belum siap untuk masuk ke sana. Harus ada rencana matang,” Grace melipat tangannya di depan dada.
“Lalu, bagaimana?” tanya Brian.
“Kita pergi dulu dari sini. Kita bicarakan strategi di tempat lain. Sepertinya aku punya ide,” Grace menyentuh pundak Brian. “Brian, bolehkah aku yang mengemudi?” tanya Grace. Brian mengangguk, sementara Alice dan Kevin menatapnya penuh tanya. Grace beranjak ke belakang kemudi. Ia tidak berusaha mematikan seal, namun terlihat bahwa Grace menekan tombol untuk menambah radius jangkauan seal.
“Kenapa kau tiba-tiba ingin menyetir? Dan kenapa kau menambah radiusnya?” tanya Alice heran.
“Tutup mulutmu dan ikuti saja,” ucap Grace dingin. Ketiga rekannya mulai merasa aneh lagi dengan tingkah laku Grace. Namun mereka tak berani membantah dan menuruti apa yang Grace mau.
Mobil van itu keluar dari persembunyiannya, lalu meluncur turun dengan cepat. Grace mengemudi seolah mereka dikejar oleh musuh, jalanan di pegunungan itu cukup rumit, banyak tikungan tajam, jalan menurun yang curam, belum lagi hewan-hewan hutan yang seringkali tiba-tiba muncul seperti rusa membuat Alice, Brian dan Kevin khawatir.
“Hei! Jika kau mengemudi seperti ini, kita akan mati karena kecelakaan! Apa kau kehilangan kewarasanmu?” bentak Alice. Grace tak bergeming. Matanya tidak beralih dari jalanan, Kevin dapat melihat Grace sedang berkonsentrasi penuh. Sesekali Grace melihat alat yang tersemat ditangan kirinya. Kevin mengangguk pelan, ia mengerti kenapa Grace bertingkah seperti itu.
“Alice, siapkan EMPS (ElectroMagnetic Pulse shooter) setting di posisi rendah. Brian buka kap atas, pasang stabilizer agar penguncian target maksimal. Aku akan mengunci target dari sini.” Kevin mengeluarkan sebuah monitor kecil dengan banyak garis hijau dari dalam ranselnya. Alice yang tadinya merasa bingung, menuruti saja apa yang Kevin katakan, begitu juga dengan Brian. Mereka bergerak cepat, Alice membuka sebuah kotak besi yang berada di bawah jok mobil. Mengambil senjata yang mirip sekali dengan pistol laser. Ia menyeting daya dan memasangnya pada stabilizer. Alice sudah ada di posisinya sekarang. Grace menonaktifkan seal.
“Apa kau melihat targetnya?” ucap Kevin pada Alice.
“Tidak, memangnya apa yang mengancam kita?” tanya Alice seraya mengarahkan EMP shooter.
“Ada sebuah drone mengikuti kita, aku yakin itu bukan drone biasa,” ucap Grace, ia masih berkonsentrasi pada kemudinya. “Drone itu, memiliki sinyal merah di radarku. Dia terhubung pada sesuatu, dan seal tidak berfungsi padanya. Sensor alatku mengindikasikan adanya panas berlebih dari beberapa titik pada drone itu,” jelas Grace.
“Berarti kedatangan kita sudah diketahui dari awal? Apakah drone itu dipersenjatai?” tanya Brian. Grace menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu, drone itu tahu-tahu sudah ada saat kita memasuki kawasan ini. Dan secepat apapun aku mengendarai mobil ini, drone itu tidak kehilangan jejak.” Grace membanting setir ke arah hutan. Brian, Alice dan Kevin berteriak karena terkejut. Mereka terjatuh di dalam van dan terombang-ambing.
“Berarti, kita adalah target terkunci?” Brian terdengar mulai panik.
“Kita akan gagal lagi!” Alice memeluk lututnya dan mulai terisak.
“Jangan bodoh!” bentak Grace. “Kita tidak akan gagal! Tidak ada kata gagal dalam kamusku!” Grace kembali membanting setirnya. Mobil van itu berputar di lapangan yang cukup luas. Grace menghentikan mobilnya.
“Alice, bangun! Ambil posisi sekarang!” teriak Kevin. Alice terhenyak dan terpaku sesaat. Kemudian, dengan cepat ia berdiri dan mengambil posisi.
“Arahkan ke arah jam tiga!” Kevin memberi instruksi. Alice mengarahkan EMPS ke arah yang diberikan Kevin. Ia melihat sebuah drone berwarna putih yang terlihat sangat canggih meliuk-liuk di antara pepohonan.
“Aku melihatnya! Drone itu terlihat menarik!” seru Alice. “Aku melihat ada sebuah huruf di bagian kanan drone itu,” ucapnya lagi.
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: Sudah Mati!
Grace diam dan menunggu, lalu bertanya. “Apa yang tertulis di sana?” ucapnya datar.
“S,” jawab Alice singkat. Grace memicingkan matanya.
“Drone itu mendekat!” Kevin berseru.
“Tembak saja drone itu,” ucap Grace, masih dengan nada datar, seolah drone itu hanya lalat.
“Understood, ma’am!” ucap Alice bersemangat.
“Target sudah terkunci. Pada hitungan mundur,” ucap Kevin. “Tiga… Dua… Satu!” Kevin mengangkat sebelah tangannya. Alice menekan pelatuk EMPS itu, sesaat terdengar suara desingan pelan saat EMPS itu bekerja. Dan tak lama, terdengar suara dengung keras, drone itu seolah mabuk dan terbang tak terarah, hingga akhirnya jatuh dan meledak.
“Clear!” seru Alice dan Kevin. Grace menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil. Brian mengusap wajahnya yang berkeringat karena panik.
“Jangan senang dulu,” Grace tiba-tiba berkata datar. “Pertempuran ini belum berakhir.”
Setelah Grace mengucapkan kata terakhir, terdengar suara peluit yang entah dari mana. Derap langkah sepatu-sepatu berat bergema. Dan tak lama, Di depan mobil mereka, berjejer pasukan berseragam yang tidak dikenal. Alice menarik EMPS-nya, menutup kap atas, lalu menyimpan EMPS itu di dalam kotak besi, dan menguncinya dengan kode.
“Sial!” umpat Kevin. Brian kembali panik, ia mengambil senjata yang berada di dalam kotak kayu dengan tangan gemetar. Grace melihatnya dari spion.
“Brian, tenanglah,” ucap Grace lembut namun tegas.
“Mereka datang! Mereka akan menghabisi kita!” seru Brian seraya membuka kunci pistolnya. Kevin dan Alice terdiam. Mereka juga merasa panik hingga tidak tahu harus bagaimana.
“Tidak, mereka tidak akan melakukan itu, Brian.” Grace memutar tubuh dan memandang ketiga rekannya yang terlihat pucat. “Kalian ini sudah terlatih! Ingat? Kenapa sekarang kalian seperti anak kecil yang trauma pada balon,” ejek Grace.
Alice terlihat kesal. Ia melemparkan tatapan dingin pada Grace lalu berseru, “Kau tidak tahu bagaimana rasanya…” Belum selesai Alice menyelesaikan kata-katanya, Grace sudah menggoyangkan jari telunjuknya.
“Aku tahu rasanya, berada di dalam situasi terburuk, tanpa bisa berkutik,” Grace tersenyum dingin. “Jadi, sekarang biarkan aku keluar dan mengatasi semua ini. Oke?” Grace berbalik lalu mengenakan sarung tangan hitam bergambar mahkota miliknya.
“Grace! Apa kau sudah gila?” Kevin menarik lengan Grace.
“Tidak, aku masih waras. Aku yang memimpin, ingat? Sekarang, kalian diam di sini, dan lakukan apa yang kuminta. Brian, ambil alih kemudi. Alice, ambil senjata otomatis untuk berjaga-jaga. Kevin, berikan kode pada Baboon akan keadaan saat ini, dan berikan koordinat kita. Aku yakin ini tidak akan lama, berdo’alah semoga saja dugaanku benar.”
Grace membuka pintu, Kevin melepaskan tangannya. Ketiga rekannya menjadi semakin bingung bercampur takut. Brian bangkit mengambil alih kemudi. Alice dan Kevin melakukan tugas mereka dengan cepat. Sesaat mereka melihat ke luar jendela mobil dengan perasaan khawatir.
Jantung mereka berdebar kencang. Mereka berpikir, apakah mereka akan tertangkap? Apakah mereka akan mati? Namun melihat Grace yang begitu tenang keluar dari mobil sambil bersenandung, membuat mereka menaruh sedikit harapan misi ini akan berhasil.
“Semoga kita bisa melalui ini,” ucap Kevin seraya berdo’a.
*to the next Chapter