*The previous chapter: #FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 13): Teka-teki surat Brigith
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————
“Aku siap,” ucap Kevin mantap. “Sudah sejauh ini, aku tidak mungkin mundur. Harus ada yang bertanggung jawab akan apa yang terjadi di New York selama sepuluh tahun ini.” Kevin mengusap dagunya, sedangkan Brian mengangguk.
“Aku juga. Aku ingin membalas kematian keluargaku di South Hampton. Shadow harus mendapatkan balasan,” ucap Brian pelan. Kini semua mata menuju pada Alice.
“Kalau kau ragu, silakan tinggalkan ruangan ini,” Grace berkata tegas.
“Tidak. Aku akan mendengarkan ceritamu dulu. Setelah itu, aku akan memutuskan untuk ikut atau tidak dengan kalian,” kata Alice memandang Grace tajam.
“Walaupun itu berisiko untukmu?” Grace mengangkat sebelah alisnya.
“Iya. Walaupun aku akan menanggung risiko yang terburuk sekali pun. Aku harus tahu apa yang kuperjuangkan. Mungkin aku melakukan semua ini untuk membalas kematian kakakku. Tapi jika menyangkut banyak orang, harus ada yang kupertimbangkan,” desah Alice. Grace mengangguk.
“Baiklah. Sekarang, duduklah yang nyaman. Aku akan menceritakan semuanya.” Semua terdiam.
***
TOK! TOK! TOK!
“Grace, buka pintunya. Dad ingin bicara denganmu.” Dad mengetuk pintu dan menunggu di depan pintu. Tidak ada jawaban. Dad kembali mengetuk pintu, lalu terdengar bunyi kunci pintu di geser. Pintu kamar Grace terbuka sedikit. Grace menampakan wajahnya yang pucat dan matanya yang sembab.
“Dad, aku sedang ingin sendiri,” Grace berkata pelan.
“Aku tahu, tapi kita harus bicara,” kata Dad sambil menatap Grace dengan raut sedih.
“Tidak untuk saat ini, Dad,” desah Grace pelan, suaranya sedikit bergetar.
“Tidak, kita harus bicara. Seluruh keluarga sedang menunggumu di bawah.” Dad mendorong pintu hingga terbuka lebar. Ia menarik lengan Grace dan mengajaknya keluar. Grace berjalan dengan lemah. Tubuhnya seolah tidak berdaya. Kepalanya masih pening. Ia sudah dua hari tidak makan sedikit pun. Dad merangkulnya, membantunya untuk berjalan menuruni tangga.
“Apa yang sebenarnya ingin mereka bicarakan denganku?” ucap Grace dalam hati. Mereka berbelok menuju ruang keluarga. Di sana, seluruh keluarga Mom sudah hadir. Bibi Marry, Paman Thomas, Paman Albert dan Kakek Herald sudah duduk menanti. Di atas meja, terdapat sebuah kotak besar berwarna merah. Di bagian tutup terdapat gambar sebuah mahkota emas. Grace menatap kotak itu lama.
“Duduklah.” Kakek Herald tersenyum lembut. Grace berjalan pelan, lalu duduk tepat di sebelahnya.
“Apa ini?” Grace meminta penjelasan.
“Warisan,” ucap Bibi Marry singkat.
Matanya masih sembab, ia terlihat beberapa kali mengusap matanya dengan sapu tangan. “Warisan?” Grace memandang satu-persatu keluarganya yang hadir di sana.
“Iya, itu adalah warisanmu,” Dad berkata pelan. Tubuhnya yang tinggi berdiri di dekat jendela. Matanya menerawang, seolah tidak ingin melihat kotak yang berada di atas meja. Grace memandangnya sedih.
“Apa ini peninggalan Mom?” Grace menatap kembali kotak itu. Dad mengangguk.
“Semua yang ada di dalam kotak itu adalah peninggalan Ibumu,” Kakek Herald menepuk bahu Grace lembut. “Bukalah,” pintanya. Grace menarik kotak itu mendekat, lalu membuka tutupnya perlahan. Matanya terbelalak.
“Apa ini?” Grace terdiam, ia melihat sesuatu yang membuatnya benar-benar bingung dan tidak percaya. Di antara semua barang yang ada di dalam kotak itu, ia mengambil sebuah sarung tangan hitam dengan gambar makhkota emas.
“Itu sarung tangan kesayangan Ibumu,” ucap Bibi Marry. “Sarung tangan itu akan membuatmu disegani dan ditakuti di New York,” lanjutnya. Grace menatap sarung tangan itu.
“Disegani dan ditakuti…” Grace tersenyum ketir. “Jadi, sebenarnya kalian itu siapa?” Kata-kata terakhir Grace membuat seluruh anggota keluarga yang berada di dalam ruangan itu tegang.
“James, sebaiknya kau jelaskan semuanya.” Kakek Herald mendesah. Dad tidak bergeming, matanya masih menatap ke luar jendela.
“Sampai kapan kau akan terdiam?” Bibi Marry terdengar kesal. Akhirnya Dad memalingkan wajah dan menatap Grace.
“Aku tidak tahu apakah Grace akan menerima apa yang aku katakan atau tidak. Kehilangan Brigith adalah hal yang berat untuknya. Aku yakin kalian tahu hal itu.” Dad terdiam sesaat. Kakek Herald menggeleng pelan, terlihat bahwa ia sudah tidak sabar lagi. Digenggamnya jemari Grace dan dipandanginya wajah cucu kesayangannya itu dengan lembut, lalu berkata tanpa basa-basi,
“Kakek yakin kau adalah sosok yang kuat,” ucap Kakek Herald. “Namun kau harus tahu, sebelum menikah dengan ayahmu, Brigith adalah seorang pembunuh bayaran nomor satu di kota New York.” Kakek Herald menggenggam erat jemari Grace dan menunggu reaksi cucunya itu. Namun Grace tersenyum dingin. Hal itu membuat semuanya terkejut.
“Jadi, itulah penyebab semua kekacauan ini?” Suara Grace terdengar parau. “Karena itu, saat penembakan di Central Park yang ditargetkan adalah keluarga kita?” Grace mendengus.
“Nak, dengar….” Ucapan bibi Marry terhenti saat Grace tiba-tiba bangkit berdiri.
“Aku tahu ada yang salah dengan keluarga kita dari dulu. Aku melihat Dad terlalu lemah, dan Mom terlalu kuat. Aku juga bisa melihat bahwa di antara seluruh keluarga kita, kalian terlalu mendominasi. Terlalu banyak hal hebat yang mampu kalian tunjukkan padaku. Karena itu, tekadku sudah bulat. Aku akan mencari orang yang telah membunuh Mom.” Dad memandang Grace tidak percaya.,
“Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan?” ucap Dad setengah membentak. Grace memandang Dad dingin. Tidak ada kata yang terucap darinya, ia menyimpan sarung tangan itu kembali ke dalam kotak, lalu menutupnya. Tangannya yang lemah berusaha mengangkat kotak itu. Paman Albert mencoba membantunya, namun Grace menolak.
BACA JUGA: #CerpenSukabumi: I have selulit, so what?
“Apa kau yakin dengan yang kau ucapkan?” ucap Paman Thomas tiba-tiba.
Grace menatapnya sesaat, kau berkata, “Tentu saja, aku akan menggantikan posisi Mom. Bagaimanapun caranya.”
Kata-kata Grace membuat Dad terhuyung. Selama ini ia berusaha menjauhkan Grace dari dunia hitam yang menjadi masa lalu ibunya, namun kini, justru Grace yang memilih jalan itu karena kematian ibunya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Dad saat itu. Namun dapat terlihat bahwa seluruh keluarga Brigith, bangga dengan apa yang Grace pilih.
“Kau lihat James, darah lebih kental daripada air.” Kakek Herald tertawa puas.
***
“Jadi, kau sudah tahu ada yang tidak beres dengan keluargamu?” Alice menyela cerita Grace dengan antusias.
“Iya, aku sudah tahu. Hanya saja, aku berusaha untuk tidak menunjukkannya. Dan semua terkuak saat insiden penembakan di Central Park.”
“Jadi, bagaimana kau bisa menemukan buku itu?” ucap Kevin tidak sabar.
“Buku itu tersimpan di antara tumpukan buku bacaan Mom di dalam kotak itu,” jelas Grace.
“Tapi bagaimana buku itu tidak menarik perhatian keluargamu?” Kevin bertanya lagi.
“Pepatah mengatakan, ‘don’t judge a book by its cover’. Dan itu memang benar,” kata Grace tersenyum.
“Maksudmu?” Brian menyondongkan tubuhnya.
“Aku melihat sebuah buku yang menarik. Judulnya ‘Grim Reaper,’ terjilid seperti sebuah novel fantasi yang tebal. Namun pada saat aku membuka halaman buku itu, aku melihat tulisan Mom yang rapi,” Grace terdiam.
“Buku itu tebal?” Alice kembali menunjukkan antusiasnya.
“Iya, buku itu setebal delapan ratus halaman. Berisi tentang berbagai macam hal yang telah Mom lalui, tentang banyak riset, tentang misi dan pekerjaannya. Tentang siapa saja yang patut diwaspadai, tentang kartel…” Grace kembali terdiam. Kali ini, wajahnya terlihat serius. “Dan tentang Shadow,” tambahnya pelan.
“Jadi, dari situ kau tahu tentang profesor Jepang itu?” tanya Alice lagi. Grace mengangguk.
“Mom menulis banyak hal. Dan di halaman terakhir, Mom menulis sesuatu yang membuatku terkejut.” Grace menatap tajam semua yang hadir.
“Apa?” tanya Baboon.
“Konspirasi.” Grace menjawab singkat. Semua saling memandang.
“Konspirasi apa?” tanya Baboon lagi.
“Semua kartel menginduk pada satu penguasa. Dan hanya Mom tahu itu. Semua orang berpikir bahwa kartel-kartel itu saling berebut untuk mendapatkan daerah kekuasaan. Namun Mom memastikan, bahwa perang yang mereka lakukan adalah untuk mendapatkan posisi teratas dalam rantai makanan. Mereka berebut posisi untuk menjadi tangan kanan penguasa itu. Semua rahasia mereka mulai terbongkar, mereka merasa terancam. Mereka melakukan berbagai macam cara untuk membungkam Mom. Namun, Mom membagi rahasia itu ke dalam beberapa surat yang diberikan kepada rekannya yang dipercaya,” Grace berhenti berbicara. Matanya menatap surat yang tergeletak di atas meja.
“Penguasa itu… Shadow?” tanya Kevin. Grace menggeleng.
“Tidak, ada yang lain di balik Shadow. Shadow hanya alat yang digunakan untuk mempertahankan posisinya sebagai penguasa,” desah Grace.
“Lalu, siapa yang memimpin mereka?” Brian terlihat benar-benar penasaran.
“Itulah. Mom hanya menjelaskan sedikit detail tentang Shadow. Hanya itu petunjuk yang terbesar yang ku punya. Seperti yang dikatakan Baboon. Jika kita mampu menembus pertahanan pertama, maka akan mudah untuk kita melaju menuju level selanjutnya.” Grace mengambil surat itu, dan membukanya.
“Menurutmu, apa yang harus kita lakukan sekarang?” Baboon bangkit dari tempat duduknya. Grace mendesah pelan, ia mengangkat sebelah alisnya.
“Kita akan kembali ke New York, dan menaklukan pertahanan kedua mereka,” Grace tersenyum lebar. Tampak ketegangan di wajah Alice, Kevin, dan Brian.
“Jangan khawatir, semua akan berjalan dengan baik. Aku yakin.” Baboon menepuk pundak Alice dan Brian yang menarik nafas panjang. Kevin hanya mengangguk pelan.
“Jadi, kapan kita berangkat?” tanya Einstein yang sedari tadi terdiam.
“Besok. Saat matahari mulai naik.” Grace terlihat puas.
*to the next Chapter