*The previous chapter: #FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 30): Ledakan
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————.
Alice mendengar adanya suara ledakan keras. Ia berhenti mengejar Sergio. Ia tahu ledakan itu berasal dari arah tempat Kevin berada. Ia langsung berlari dan tidak peduli tentang Sergio lagi. Ia berharap Kevin baik-baik saja. Orang-orang berlarian, Alice berlari melawan arus, beberapa kali tubuhnya hampir terjatuh. Dan pada saat ia merapat ke dinding untuk menghindari seorang pasien yang berada diatas kursi roda, ia melihat Kevin terbaring dan seorang wanita muda terlihat mendekatinya. Tangan kanan wanita itu dibalut perban, dengan susah payah, ia mencoba membawa Kevin ke samping agar tidak terinjak oleh orang yang berlarian. Alice bergerak cepat dan membantunya.
“Kev! Kamu tidak apa-apa? Kev! Kau dengar aku?” Alice menepuk pipi Kevin yang terlihat tidak sadarkan diri.
“Aku rasa dia pingsan.” Ucap wanita itu. “Ledakan dari ruang ICU membuatnya terpental dan jatuh.” Wanita itu meringis kesakitan, Alice melihat kakinya berdarah.
“Apa kau tidak apa-apa? Kenapa kau tidak menyelamatkan diri?” Alice menyingkap celana hijau yang dikenakan wanita itu.
“Kakiku sudah terlalu sakit. Aku tidak bisa berjalan jauh, dan aku lihat dia tergeletak dan hampir terinjak oleh orang-orang.” Wanita itu merapatkan tubuhnya ke dinding. Tak lama petugas medis bantuan datang. Mereka mulai menangani Kevin dan membawa gadis itu untuk diobati. Sirine terdengar, Polisi dan petugas lainnya berdatangan. Alice terdiam menatap lorong tempat bom itu meledak. Dan ia baru menyadari, bahwa tempat itu adalah ruang ICU dimana Grace dan Ayahnya berada. Wajahnya memucat, ia berpikir, apakah Grace dan ayahnya masih hidup? Ia melangkah dengan gontai, seorang polisi menahannya untuk tidak mendekat.
“Nona, anda tidak boleh mendekat! Terlalu berbahaya!” Ucap polisi itu. Namun Alice mulai berontak.
“Grace! Dia ada disana! Dia ada di dalam!” Teriaknya. Alice mulai tidak terkendali, ia panik sepanik-paniknya. Namun sebuah suara membuatnya terdiam.
*
“Suara Apa Itu?” Gerald bangkit dari tempat duduknya.
“Sepertinya itu suara ledakan.” Jantung Grace berdegup kencang. “Ledakan? Di rumah sakit?” Ucapnya dalam hati. Dengan cepat Grace beranjak dari tempat duduknya dan berlari menuju tempat terjadinya ledakan. Tangannya mulai bergetar, Jantungnya memacu kian cepat. Satu-satunya hal yang ada di dalam pikirannya adalah “Dad!”
Gerald mengikuti Grace dari belakang. Ia memikirkan hal yang sama dengan cucunya itu. Tidak akan ada kekacauan sebesar ini jika tidak dipicu oleh keberadaan seseorang yang berpengaruh di dalamnya.
“Sial!” Umpat Gerald. Akhirnya mereka sampai di tempat ledakan itu terjadi. Grace mematung. Begitu pula dengan Gerald yang langsung berlutut lemas.
“Meisile… Adele… Deliah…” Ucapnya lirih.
Grace melihat Alice berusaha mendekati ruang ICU yang terlihat kacau itu. Ia berteriak memanggil namanya.
“Alice….” Ucap Grace pelan. Alice menoleh.
“Grace! Kau tidak apa-apa? Apa Kau terluka? Bagaimana dengan Ayahmu?” Alice menggoyangkan tubuh Grace yang terlihat tak bergeming.
“Ini tidak mungkin serius kan, Alice? Katakan padaku jika ini tidak nyata! Katakan bahwa ini hanya mimpi!” Grace mulai berteriak. Tubuhnya lemas. Ia mulai terduduk seraya menatap ruangan itu dengan sedih. “Dad, tidak mungkin….” Kata-katanya terhenti. Air mata mengalir deras dipipinya yang mulai berdenyut lagi. Ia melepas kacamata dan mengusap air matanya. Alice memeluknya.
“Maafkan aku.” Ucap Alice lirih. Gerald terus menangis dan berteriak hingga para polisi dan tim medis datang untuk menenangkannya. Beberapa pria berbaju hitam muncul dalam hiruk pikuk kekeacauan itu. Terlihat Donny Marquez dan anak buahnya berdiri disana. Mereka membuka topi yang mereka pakai sebagai tanda berduka. Fujita pun hadir disana dan menyilangkan tangan kanannya di depan dada.
Grace menguatkan dirinya, ia melepaskan pelukan Alice dan bangkit. Tangannya mengepal, giginya bergemeretak. Tatapannya penuh dengan kemarahan.
“Siapapun yang melakukan ini, dia benar-benar ingin mati!” Ucapnya geram. Grace berbalik meninggalkan tempat itu. Ia melewati don Marquez dan Fujita tanpa mengatakan apapun. Hal pertama yang tersirat dalam benaknya adalah membalas dendam. ***
to the next part.