Molor dari jadwal, Terowongan Lampegan akhirnya diselesaikan oleh pekerja perkebunan.
Ada yang menarik dalam perayaan Hari Jadi ke 105 Kota Sukabumi tahun ini, Komunitas Reenactor Explore Kipahare (REK) melakukan kegiatan reka ulang peristiwa di Stasiun Kota Sukabumi dengan kostum ala pejuang pada masa kolonial, Minggu (31/3/2019).
Dalam kegiatan tersebut, sekaligus membahas sejarah pembangunan jalur kereta api (KA) relasi Buitenzorg (Bogor) – Soekaboemi oleh Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah, sejarah lokal yang minim informasi. Selain itu, juga dipaparkan mengenai perkembangan double track oleh Pembina Yayasan Dapuran Kipahare, H. Asep Deni.
Menurut ketua REK yang diwakili oleh Heri Sake, kegiatan tersebut diikuti lembaga-lembaga di bawah naungan Yayasan Dapuran Kipahare seperti Komunitas Kuliner Sukabumi (Kukis), Museum Barbeque Kipahare, Sosial Adventure Kipahare, Peterpan dan Relawan Pelestari Cagar Budaya (RPCB). Tak hanya itu, kalangan milenial hingga anak-anak pun banyak yang ikut terlibat, Gaess.
Kegiatan sendiri mendapat dukungan dari PT KAI Daops I yang diwakili Kepala Stasiun Kota Sukabumi Heru Salam yang menyambut baik upaya pelestarian cagar budaya tersebut.
Nah, Gengs, berikut adalah hal-hal menarik yang terjadi saat proses pembangunan jalur KA dari Bogor-Sukabumi hingga ke Cianjur.
[1] Proses perencanaan yang panjang dibanding pembangunannya
Pembangunan jalur KA relasi Buitenzorg-Soekaboemi bukanlah pembangunan jalur pertama, karena jalur pertama yang dibangun pemerintah Hindia Belanda adalah di Semarang pada 1864, dilanjut pembukaan jalur Semarang-Tanggung pada 1867.
Pembangunan jalur KA Buitenzorg-Soekaboemi merupakan bagian dari pembangunan jalur Buitenzorg-Tjitjalengka pasca-pembangunan jalur Batavia-Buitenzorg tahun 1869. Pada tahun yang sama JA Kool mulai membuat proposal pembangunan jalur KA Buitenzorg-Tjitjalengka sekaligus melakukan studi mengenai lebar rel yang diperlukan.
Namun, baru pada 1872 proposal tersebut dilanjutkan oleh David Marschalk, mantan perwira Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), yang kemudian beralih profesi menjadi teknisi perkeretaapian.
Empat tahun kemudian, yakni 1976, David melakukan feasibility study di wilayah Sukabumi. Pada tahapan ini ia merekam beberapa poin seperti ditemukannya dua sungai antara Benda (Cicurug) dan Karang Tengah (Cibadak) yang membutuhkan adanya jembatan panjang. Selain itu, dibuat pengaturan rel di tepi kanan Tjitjatih dan juga beberapa jembatan di sekitar Gandasoli dan Tjireungas.
Kemudian April 1878 dilakukan survey untuk mengetahui material pendukung bahan bakar yaitu batubara, salah satu tempat yang berpotensi kandungan batubara yaitu di Tjikukulu. Sementara itu, kemungkinan jalur KA harus menembus Gunung Kancana di Tegalnangka pun mulai direncanakan.
[2] Proses Simultan yang cepat
Izin pembangunan jalur KA Buitenzorg-Soekaboemi baru keluar pada 6 Juni 1878 melalui Staatsblad nummer 201. Rencana Maarschalk & Mijners diterima melalui peta dasar dan rincian pembangunan mulai dari Buitenzorg hingga Tjisokan.
Khusus untuk wilayah Soekaboemi, diperinci melalui tiga tahap yaitu ruas Buitenzorg-Paroengkoedah sepanjang 27 km, Paroengkoedah-Soekaboemi sepanjang 31 km dan Soekaboemi-Tegal Tjiandjoer yang berfokus di Tegalnangka karena adanya terowongan.
Meskipun proses pembangunannya seperti dibuat bertahap, tetapi sebenarnya dilakukan secara bersamaan untuk mempercepat waktu. Groundbreaking dilakukan pada Agustus 1878, disertai land clearing untuk perataan, penimbunan, dan pembobokan tanah dataran tinggi dan gunung. Hingga Januari 1879, sekira 37.623 meter kubik tanah digerus saat perataan dan pembobokan.
Proses pembangunan ini disertai dengan penanaman pohon-pohon randu di beberapa titik untuk pemasangan kawat telegraf, termasuk di Tegalnangka. Selain itu, beberapa jembatan sementara pun dibangun untuk keperluan pengiriman material seperti di daerah Tjilubang, sehingga struktur beton untuk jembatan dan tanggul pun langsung dikerjakan.
Sepanjang tahun 1879, bangunan pendukung dibuat mirip bengkel kayu di halaman Stasiun Buitenzorg dan Kantor Staf di Tjibadak.
BACA JUGA:
Menyingkap alasan MH Thamrin batal menjadi Burgemeester Soekaboemi
Akhir tragis “Si Rambo”, Wali Kota Sukabumi pertama
Catatan dari balik sejarah Balai Kota Sukabumi, dari Lie Ek Tong, resesi ekonomi, hingga sosok hitam
Tjikasintoe, mengeksplorasi mitos dan kisah heroik di Cidadap Sukabumi >
{3] Terhalang pelbagai kendala
Banyak kendala dalam proses pembangunan jalur KA Buitenzorg-Soekaboemi, dari mulai kontur tanah yang bergelombang, berbeda dengan di wilayah Jawa Tengah, cukup menyulitkan para pekerja karena peralatan yang digunakan pada saat itu belumlah canggih.
Bahkan nih, Gaess, proses pemindahan tanah dan material dari satu titik ke titik lain, dilakukan dengan cara ditarik kerbau dan sapi. Akibatnya, ketika hewan-hewan tersebut terserang penyakit dan menyebabkan kematian, proses pekerjaan pun menjadi tertunda. Selain itu, faktor cuaca seperti hujan mengakibatkan longsor dan banjir di beberapa titik. Misalnya, sempat terjadi longsor di sekitar wilayah di Tjigombong dan Tjitjurug pada sekira Agustus 1879.
Belum lagi kendala seringnya terjadi pergantian kontraktor akibat sulitnya medan pekerjaan. Pada awalnya Nederlandsch Indie Spoorweg Maaschapij (NISM) yang mengajukan proposal, namun karena terkendala masalah keuangan dan sulitnya kontur di wilayah Soekaboemi akhirnya pekerjaan diambil alih Staatspoorwegen (SS), sebuah perusahaan milik pemerintah Belanda.
Belum lagi, tenaga kerja juga tidak mudah didapatkan sehingga harus mengerahkan para pekerja dari wilayah lain, seperti dari Jawa dan orang Tionghoa. Namun, setelah tenaga kerja tersedia, ternyata kendala masih muncul, misalnya berkembangnya isu mistis sehingga sebagian pekerja menolak bekerja di beberapa titik.
Salah satu titik pekerjaan yang diisukan terkait tahayul adalah saat membobok terowongan Lampegan pada 1879, para pekerja menolak bekerja karena takut akan mendapatkan amarah dari para penunggu di gunung tersebut. Faktanya, memang beberapa orang meninggal dunia saat pembobokan terowongan dilakukan baik akibat penyakit maupun kecelakaan kerja.
Lucunya lagi nih, Gengs, saat musim panen dan tanam tiba, para pekerja ini pergi begitu saja meninggalkan pekerjaan dengan alasan mengurus sawah mereka. Sementara pekerja Tionghoa terkendala hanya saat perayaan tahun baru Imlek, mereka juga menghilang hanya untuk merayakannya di beberapa tempat sekitar Buitenzorg dan Batavia.
Nah, Gaess, berbicara soal upah, ada perbedaan besaran upah untuk kuli dari Jawa dan Sunda. Untuk penduduk jawa dan lokal dibayar antara 0.25-0.40 Foundsterling (f) per hari, dan untuk kuli Tionghoa f.0.20-f.1,-, serta mandor f.0.75.
[4] Penyelesaian jalur awal
Pemerintah Hindia Belanda melakukan percepatan proses pembangunan dengan pola memasang rel langsung untuk lokasi yang sudah siap, sehingga bisa menggunakan KA untuk pengiriman materialnya. Beberapa teknologi semacam kompresor dan boiler juga didatangkan untuk membantu pembobokan terowongan di Tegalnangka.
Hingga akhir 1880 sudah banyak perkembangan, gudang batubara dan waduk air dibangun di Tjibadak, kemudian bangunan-bangunan di sekitar Stasiun Soekaboemi diratakan untuk persiapan pembangunan gedung stasiun.
Setahun kemudian, pada 1881, Halte Tjisaat mulai dibangun. Material pendukung dengan cepat tersedia termasuk untuk bahan bangunan Stasiun Soekaboemi. Akses jalan dari Stasiun Soekaboemi ke alun-alun pun mulai dilakukan pemadatan. Sementara gudang barang dan material juga sudah dibangun di sisi stasiun, termasuk material kayu untuk bangunan stasiun dan jalur KA.
Mei 1881, jalur sudah hampir memasuki Tjitjurug, namun pekerjaan sempat tertunda akibat hujan deras berhari-hari. Bahkan, sempat dilaporkan pekerja yang kelelahan dan meninggal dunia, sehingga menjadi alasan penundaan pekerjaan. Padahal, trek keseluruhan yang sudah diselesaikan, sudah mencapai 32.407 meter linier
Saat penundaan pekerjaan, sebagian pekerja juga memilih pulang karena alasan memasuki masa panen. Akhirnya proses pekerjaan pun dilanjutkan dengan tenaga kerja yang tersisa.
Hingga Juli 1881, Halte Tjitjurug selesai dibangun dan langsung dilengkapi furnitur dan perabotan yang dibutuhkan.. Sementara Stasiun Soekaboemi baru sampai tahap pemasangan bata dan kayu. Untuk kebutuhan bata, disuplai dari beberapa daerah seperti Tjijati, Gandasoli, dan Soekaboemi.
Jalur KA Buitenzorg-Tjitjoeroeg resmi dibuka pada 5 Oktober 1881 dengan meriah, beberapa pejabat dan tuan perkebunan menjadi penumpang pertama hingga ke Stasiun Paroengkudah, diiringi orkestra dan disambut dengan gamelan Sari Oneng Parakansalak. Baca Personel Sari Oneng Parakansalak, pionir mogok tenaga kerja Sukabumi di pentas internasioal dan Upaya mengembalikan kemasyhuran Sari Oneng Parakansalak ke Sukabumi.
Nahasnya, Gengs, pasca-upacara peresmian jalur KA Buitenzorg-Tjitjoeroeg, KA sempat tergelincir dan terjadi kecelakaan. Akibatnya, salah seorang petugas KA mengalami patah kaki karena terlindas.
[4] Terowongan Lampegan diselesaikan oleh pekerja perkebunan
Proses pembangunan berikutnya menuju Soekaboemi nyaris tanpa hambatan berarti karena keperluan mendasar di lapangan sudah dipersipkan pada fase pertama. Pembangunan jembatan di ruas Paroengkudah-Soekaboemi dilakukan dengan menggunakan material besi. Stasiun Soekaboemi sendiri selesai dibangun pada akhir Januari 1882 dan langsung diperlengkapi dengan peralatan teknis kereta api termasuk Turntable.
Sebuah jam buatan FM Ohlenroth tahun 1881 juga dipajang di Stasiun Soekaboemi. Stasiun ini dikategorikan sebagai Stasiun Kelas III dengan merekrut beberapa pejabat yaitu kepala stasiun (Onder Commis I), juru tulis I atau Telegrafis (pribumi), ranger meester, dan juru langsir (pribumi).
Sementara itu, pembangunan jalur KA ruas Soekaboemi-Tjiianjoer berfokus di Tegalnangka dimana proses pembobokan terowongan masih harus diselesaikan. Karena molor dari jadwal, akhirnya pembangunan tersebut dikerjasamakan dengan onderneming Tjibokor untuk mengerahkan pekerja perkebunan dalam menyelesaikan terowongan tersebut.
Van Beckman, sang pemilik perkebunan menyetujui dengan syarat dibuatnya stasiun yang tidak jauh dari perkebunannya untuk memudahkan distribusi hasil produksi perkebunan. Maka disepakatilah pembangunan sebuah halte di mulut terowongan arah Tjianjoer, yaitu Stasiun Lampegan.
Pada 21 Maret 1882, akhirnya jalur Tjitjoeroeg-Soekaboemi pun dibuka untuk umum, disusul kemudian pekerjaan terowongan Lampegan juga selesai ditembus. Para pekerja merayakannya dengan sebuah pesta yang dihadiri para pejabat Belanda. Pesta dihibur oleh grup ronggeng lokal, Nyi Sadea. Nyi Sadea ini seorang wanita cantik yang disukai para pejabat dan menak yang hadir pada acara pesta.
Proses pembangunan jalur KA Soekaboemi hingga ke Tjianjoer selesai tahun 1883, ditandai dengan dibukanya jalur tersebut pada 10 Mei 1883.
Wah, buat gen XYZ Sukabumi yang hobi naik KA, kini kita jadi tahu ya suka duka selama proses pembangunan jalur KA ini. Bisa kalian bayangkan, Gengs, pembangunan double track saat ini saja mungkin membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun, meskipun didukung peralatan canggih. Kebayang kan bagaimana rumitnya proses pembangunan jalur KA Buitenzorg hingga Tjianjoer ini?
Nah, fyi nih, Gengs, para reenactor yang dipandu Irwan Irhas, kemudian melanjutkan kegiatan hari jadi ke-105 Kota Sukabumi dengan mengunjungi Museum Pegadaian dan Rumah Tahanan Bung Hatta.
Kegiatan penelusuran dan reenactor ini dilakukan setiap bulan lho, dengan melakukan kunjungan ke beberapa tempat bersejarah. Buat gen XYZ Sukabumi yang tertarik untuk bergabung dengan komunitas ini, bisa ikut seru-seruan dengan mengenakan kostum reka ulangnya tuh.
Eiya, hampir lupa nih Gengs. Usai pesta perayaan, Nyi Sadea dikabarkan menghilang dibawa seseorang, entah siapa. Masyarakat setempat memercayainya jika wanita cantik itu dibawa mahluk halus ke alam gaib, dan konon masih sering menampakan dirinya hingga kini. Duh!