*The previous chapter: #FixzySukabumi: Bajingan Bertato Ular (Chapter 19): Bersekutu dengan Profesor Sukichi
————————————————————————
Grace, wanita pembunuh bayaran paling ditakuti di New York mencari lelaki bertato ular yang telah membunuh adik dan ibunya. Dunia hitam New York dibuatnya kalang kabut, tak satu pun bajingan di kota berjuluk Big Apple itu lepas dari angkara murka bernama Grace.
————————————————————————
Miguel Marquez mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Ia mulai gelisah. Kabar tentang dirinya akan disingkirkan membuatnya tidak tenang. Penjagaan ketat mulai diberlakukan, para petarung dari kartel Domingo dikumpulkan untuk melindunginya, tentu saja dengan bayaran yang cukup tinggi. Ia juga sudah mempersenjatai dirinya dengan sebuah pistol otomatis. Ia menunggu, dan menunggu.
TOK! TOK! TOK!
Ketukan di pintu membuatnya semakin siaga.
“Siapa?” Miguel mengeluarkan senjata secara diam-diam di bawah mejanya.
“Ini aku, kakek,” ucap Rodrigo Marquez, cucunya dari balik pintu.
“Masuklah,” Miguel meletakkan kembali pistolnya ke tempat semula. Rodrigo masuk dengan wajah cemas.
“Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Apa A sudah gila? Dia ingin menyingkirkan Shadow?” Rodrigo bersungut sambil mendekati kakeknya itu dan mencium punggung tangannya.
“Iya, si brengsek Anonymous itu membuatku mati kutu. Aku tidak tahu harus bagaimana. Habis manis, sepah dibuang. Padahal aku selalu melakukan semua yang dia minta, dan tiba-tiba saja kabar mengenai kematian Arlos dihubungkan dengan keberadaanku yang akan disingkirkannya. Sial!” Miguel menghempaskan tubuhnya ke punggung kursi.
“Mungkin saja itu hanya kabar burung, kakek. Seandainya ayah pulang, aku yakin dia akan mengatakan hal yang serupa denganku,” kata Rodrigo mendekati Miguel dan memijat pundaknya.
“Aku harap kau benar. Aku tidak bisa beristirahat dengan tenang hari ini. Bahkan makanan pun terasa tidak enak di dalam mulutku,” kata Miguel memejamkan matanya.
“Bagaimana jika kau pergi ke luar negeri untuk menghindari A?” Rodrigo menatap wajah kakeknya dari samping.
“Bagaimana jika orang suruhan A menghadangku di tengah jalan?” Miguel benar-benar merasa pesimis. Rodrigo hanya bisa menghela napas.
“Aku akan menelepon paman untuk memastikan kabar yang kita terima ini. Bukankah dia dekat sekali dengan A?” Ucapan Rodrigo disetujui Miguel. Rodrigo pun pergi keluar dan mencoba menelepon pamannya.
Setelah Rodrigo keluar, seorang wanita masuk ke dalam ruangan tempat Miguel berada, dan menutup pintunya rapat.
“Ah! Pevita, kau datang saying,” Miguel berkata manja pada wanita bernama Pevita itu.
“Don Miguel, tentu saja aku akan datang. Kenapa wajahmu begitu pucat?” tanya Pevita. Ia berjalan mendekati Miguel yang bangun dan menghampirinya.
“Aku sedang ada dalam masalah,” jawab Miguel.
“Masalah apa? Apa aku bisa membantumu?” tanya Pevita lagi.
“Tidak, kau tidak akan bisa membantuku, sayang. Tapi setidaknya, buatlah aku merasa nyaman,” Miguel merangkul pinggang Pevita dari belakang seraya menggenggam jemari lentik Pevita dengan erat.
“Sepertinya masalahnya serius,” Pevita balik bertanya. Miguel menatapnya dengan lembut.
“Iya. Masalah yang amat serius. Jika aku mati, apa kau akan merindukan aku, Sayang?” Miguel memainkan jemari Pevita didalam genggamannya. Pevita melepaskan tangan itu, lalu merangkul pundak Miguel dan berjalan ke belakang punggungnya seraya mengelus dada tegap dari pemimpin kartel Domingo itu
“Tentu saja aku akan sangat merindukanmu,” jawab Pevita singkat. Miguel merasa senang, namun tiba-tiba Pevita menarik rahangnya dengan sekuat tenaga hingga kepalanya berputat empat puluh lima derajat ke samping.
KREKK!
Terdengar bunyi tulang patah. Seketika itu juga, Miguel meregang nyawa di tangan Pevita. Ia ambruk ke lantai. Pevita menariknya ke atas sofa panjang yang ada di dalam ruangan itu, dan memposisikan tubuh Miguel seperti sedang tertidur.
“Kau berat!” Pevita menggerutu. “Maaf Miguel, aku rasa kau sudah saatnya pensiun. Aku tidak tega jika kau harus mati berdarah. Karena itu aku berikan kematian singkat yang indah.”
Pevita mencium kening Miguel lembut, lalu bangkit berdiri dan keluar dari dalam ruangan itu. Tidak ada yang curiga dengan sosok Pevita di dalam kartel Domingo, sehingga setelah membunuh Miguel, ia dapat pergi dengan tenang.
*to the next chapter